Puncak Tertinggi Jawa

Jumat, 09 Agustus 2013

Akhirnya Bisa Ikut

Impian yang kutulis untuk menginjakkan kaki di puncak tertinggi pulau jawa pada tahun 2013 akhirnya tercoret sudah. Sekali lagi kekuatan mimpi menunjukkan kekuatannya.

Sebulan sebelum hari keberangkatan itu seorang kawan baruku Acong yang dia adalah kawan sahabatku Jarot mengabarkan berita super bahwa dia sudah mendaftarkan online kami semua untuk daftar pendakian Mahameru untuk tanggal 27 Juni 2013.

Semula aku merasa petualangan ini tidak akan terjadi, ya…hanya sebulan waktu yang tersisa untuk mempersiapkan semua hal. Aku sempat memutuskan untuk tidak ikut dalam petualangan kali ini karena berbagai masalah, entah biaya, peralatan maupun juga fisik.

Seminggu sebelum hari keberangkatan, kelasku (IBE 2010 UNY) mengadakan acara makarab di salah satu wisma di kawasan pantai Parangtritis. Tak kusangka hari itu aku harus mengambil keputusan nekat. Aku ngobrol dengan 2 kawanku Udin dan Prast mengenai rencana keberangkatan Jarot ke Mahameru. Namun tak kusangka ternyata Udin pun juga diam-diam memutuskan untuk turut serta dalam petualangan. Tak lama datang Luna (Rista) dalam perbincangan ini. Luna, Prast dan aku masih sangat bimbang apakah hendak berangkat atau tidak. Hingga H-7 ini kami benar-benar masih buta persiapan. 

Perbincangan sore menjelang malam itu berakhir dengan keputusan yang nekat. Ya…akhirnya tanpa piker panjang aku memutuskan untuk ikut juga dalam petualangan. Luna pun sepertinya  mengambil keputusan yang sama. Prast masih bimbang apakah mau berangkat atau tidak.

Sebenarnya aku pun juga belum tentu bisa berangkat. Masalah biaya mungkin aku masih bisa mengusahakannya. Tapi masalah utama aku belum memiliki perlengkapan semacam carrier, sepatu dan lain sebagainya. Tidak mungkin aku membelinya karena saat itu perekonomianku terbilang sedang seret.

Aku berfikir bagaimana cara untuk bisa mendapatkan alat-alat penting itu. Aku mencoba menghubungi kawan-kawanku yang juga hobi manjat tapi belum juga ada yang bisa meminjamkan peralatan itu kepadaku karena ternyata memang musim itu memang musim manjat sehingga sudah banyak yang dipinjam atau digunakan sendiri.

Luna menyarankanku untuk meminjam sepatu kepada salah satu kawan (mas Ulul). Ya…aku langsung sms mas Ulul untuk meminjam peralatannya. Alhamdulillah..mas Ulul bersedia meminjamkan sepatu tracking nya untukku. Namun mas Ulul tidak memiliki carrier sehingga aku harus bersikeras mencari lagi siapa kira-kira yang punya dan bersedia meminjamkan carrier.

Setelah hari itu sepertinya tubuhku pun sudah tergerak ingin berpetualang lagi. Walau belum punya pinjaman carrier tapi entah kenapa hasrat untuk berolah raga muncul begitu saja. Mulai dari H-5 aku sempatkan untuk berjogging setiap sore. Aku pun terus berusaha mencari uang saku untuk bisa berangkat.

Hingga H-3 aku belum juga dapat pinjaman carrier. Hari itu Acong sudah tiba di Jogja. Ternyata dia tidak sendiri. Dia membawa temannya yang juga akan ikut dalam petualangan. Hebatnya temannya itu cewek. Namanya susah banget disebutnya, tapi nama panggilannya mae. Melihat mereka aku semakin ingin untuk benar-benar ikut dalam petualangan hebat ini.

Akhirnya, H-2 keberangkatan Luna mengabarkan kabar gembira karena temannya (Desta) bersedia meminjamkan carrier untukku. Hari itu juga Bundaku sepertinya mengetahui bahwa anakknya sangat membutuhkan uang hingga tiba-tiba mengabarkan bahwa Bunda mengirim sejumlah uang. Wah…Alhamdullilah sekali...datang disaat yang tepat. Sepertinya lengkap sudah. Dan aku akan berangkat bersama mereka.

Hingga H-1. Prast belum juga mendapatkan pinjaman carrier dan sepatu. Usaha kerasnya berbuah manis ketika hari itu akhirnya dia mendapatkan juga pinjaman sepatu dan carrier. Dia pun akhirnya turut dalam petualangan ini. Dan jelas sudah, petualangan ini takan dilalui 7 orang yakni Aku, Udin, Prast, Jarot, Luna, ditambah Acong dan Mae.

Berangkat menuju Malang.

Rabu malam, 26 Juni 2013 kami telah siap dengan peralatan kami. Dan sebelum berangkat doa bersama kami panjatkan untuk petualangan hebat ini.

Malam itu juga kami berangkat menuju Malang. Langkah pertama kami dalam petualangan ini adalah menuju shelter bus wa trans Jogja. Ya..kami harus naik trans Jogja untuk sampai di terminal Giwangan. Dan tanpa sadar saat itu jugalah untuk pertama kalinya aku merasakan naik trans Jogja. Hehe…maklum, orang Jogja tapi baru pertama kali naik tans Jogja.

Sampailah kami di terminal Giwangan. Sesampainya disana kami tak menunggu lama. Bus menuju Surabaya sudah berjajar menunggu penumpang. Sasaran kami adalah bus AC tapi tarif biasa jadi murah. Hehe…Setelah bertanya dan melego masalah harga tiket kami pun segera masuk ke bus. Tak lama menunggu akhirnya bus mulai berjalan. Bismillah…kami pun berangkat menuju Surabaya. Semalaman kami terlelap di dalam bus.

Kamis pagi, 26 Juni. Bus yang kami tumpangi mendarat di terminal Surabaya. Kami bergegas turun dan menuju mushola untuk sholat subuh.

Segera setelah sholat subuh kami menuju ke tempat antrian bus untuk mencari bus menuju Malang. Keberuntungan sepertinya berpihak, tanpa menunggu panjang kami langsung mendapatkan bus bagus dengan harga murah. Tanpa piker panjang kami pun segera masuk bus dan mencari tempat yang paling nyaman disana.

Dalam perjalanan dari Surabaya menuju Malang kami disuguhkan dengan pemandangan yang sangat luar biasa indah. Deretan gunung-gunung nan tinggi terlihat jelas dari kaca bus. Dan sekelibat muncul satu gunung yang terlihat paling indah, paling berpasir dan paling tinggi dibanding gunung-gunung disekitarnya. Ya…itulah dia tujuan kami. Gunung tertinggi di pulau Jawa. Gunung Semeru. 

Kembali kami terlelap dalam perjalanan itu. Sesekali kami terbangun karena rasa lapar yang membelit yang hanya bisa kami obati dengan canda gurau. Setelah itu kami kembali memejamkan mata lagi. Hingga akhirnya bus yang kami tumpangi berlabuh di stasiun Arjosari Malang.

Jadi inilah terminal Arjosari Malang, Hm…sekilas terminal ini terlihat jauh lebih kecil dibandingkan dengan Surabaya bahkan dari Giwangan Jogja sekalipun.

Di terminal ini akhirnya kami bisa mengobati lapar yang membelit perut sejak dari Surabaya tadi. Sang kenek bus yang kami tumpangi tadi mengantarkan kami ke warung makan yang katanya lebih murah dibanding dengan yang lain. Kami pun menurut saja dan mengikuti arah sang kenek.

Tibalah kami di sebuah warung makan yang letaknya tak jauh dari gerbang masuk terminal. Di warung ini kami akhirnya bisa makan. Jarot dan Acong tidak turut sarapan tapi langsung cabut menuju tempat uak jarot yang kabarnya tak jauh dari terminal. Kata Jarot, Ibunya sedang di sana dan kami sudah disiapkan makanan dan bekal. Terlalu repot bila kami harus turut kesana semua karena bawaan kami yang bergejibul ini. Jadi Jarot dan Acong yang pergi, sedangkan kami sarapan di warung sambil menunggu.

Lama kami menunggu kembalinya Jarot dan Acong. Sudah hampir 2 jam lebih mereka pergi dan belum juga da tanda-tanda kembali. Beberapa orang menawarkan jasa antar menuju Tumpang, yang merupakan tempat tujuan kami sebelum ke Ranu Pane. Tetapi kami belum mau memutuskan karena Jarot dan Acong belum kembali.

Aku berulang kali mondar-mandir masuk dan keluar warung makan. Aku pandangi dari kejauhan kegaduhan terminal ini. Terlihat begitu semrawut dan sangat tidak teratur. Jalanan terminal yang sudah rusak yang apabila ada bus lewat sangat berdebu, parkir bus yang terlihat sangat tidak teratur, dan antrian penumpang yang sangat semrawut adalah pemandangan yang terekam oleh lensa mataku saat itu. Begitu keras sepertinya kehidupan di terminal ini.

Setelah lama sekali menunggu akhirnya 2 orang itu balik juga. Tapi mereka tak pulang dengan tangan kosong, mereka membawa cukup banyak bekal makanan buat kami semua.hehehe..lumayan lah..

Dan ternyata mereka berdua juga sudah memesan carteran menuju Tumpang. Yah..setelah mereka datang kita semua langsung cabut menuju mobil carteran itu.

Menuju Tumpang 

Kami bergegas masuk ke mobil carteran itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 WIT siang dan kabarnya butuh waktu kurang lebih 2 jam untuk sampai ke Tumpang. Cukup jauh ternyata perjalanan menuju tumpang.

Dari bilik kaca mobil kupandangi kehidupan kota Malang. Cukup modern kota ini. Tidak jauh beda dengan kota-kota besar lain di Indonesia. Macet juga pemandangan biasa sepertinya di kota ini.

Mobil mulai memasuki daerah pedesaan, pemandangan diluar sana yang semula penuh bangunan dan kendaran mulai berubah menjadi pemandangan yang dominan kehijauan. Sawah-sawah yang penuh tanaman padi dan berbagai tanaman lain menyajikan pemandangan dan hawa yang amat sejuk. Sepanjang perjalanan kami bercanda gurau dan bercerita dengan pak sopir. Satu kebiasaan dari anggota tim terlihat jelas ketika si Mae kembali menghiasi waktunya dengan tidur. Acong bilabg anak ini memang terkenal sebagai ratu tidur. Setiap ada kesempatan sedikit saja pasti dia tidur. Yah…begitulah..kami yang lain cuma terheran dengan kebiasaan anak ini..hehe  

Hampir satu setengah jam perjalanan tiba-tiba mobil berhenti di suatu tempat. Sepertinya belum sampai di Tumpang, namun entah kenapa mobil ini berhenti. Sang sopir nampak keluar dari mobil dan menjumpai seorang sopir lainnya yang terlihat berhenti dari arah berlawanan. Terlihat mereka berdua hendak berdiskusi, entah mengenai apa. Kami pun juga turun dari mobil dan menggerak-gerakkan tubuh yang mulai merasa pegal akibat kelamaan duduk.

Sang sopir sepertinya telah mencapai kesepakatan dengan kawannya itu. Langsung kami diminta kembali masuk mobil. Kawannya itu juga turut masuk ke dalam mobil. Sepertinya orang inilah yang akan mengantarkan kami menuju suatu tempat di Tumpang.

Tak lama setelah itu kami mulai memasuki tumpang. Tidak seperti dalam bayanganku, Tumpang ternyata masih sangat ramai. Bahkan merupakan daerah padat penduduk. Mobil berhenti di depan suatu rumah. Nampak dari dalam mobil di depan rumah itu ada serombongan anak yang sepertinya juga hendak melakukan petualangan ke Semeru. Kami pun diminta turun disini. Pak  sopir menjelaskan bahwa nanti akan ada truk yang menawarkan jasa menuju Ranu Pani. Dan serombongan anak disana juga akan menuju Semeru. Mereka juga sedang menunggu truck itu datang. Kami nantinya akan bersama dengan rombongan itu naik truk menuju Ranu Pani.

Sangat berbeda dengan yag kami baca di novel 5 cm yang kabarnya harus naik Jeep untuk bisa sampai Ranu Pani. Kini truk pun sudah banyak yang menawarkan jasa yang sama. Namun kabarnya harga yang ditawarkan tetap sama, yakni sekitar 35rb per kepala.

Sambil menunggu truk datang, kami memanfaatkan waktu untuk berbelanja. Tempat itu terletak dikawasan pasar Tumpang. Di pasar itu kami membeli beberapa kebutuhan seperti air, sayuran dan bumbu-bumbu. Karena setelah belanja truk belum juga datang, kami memutuskan untuk sholat terlebih dahulu. Kami pun menuju salah satu masjid disana untuk sholat.

Menuju Ranu Pani

Sekembalinya kami dari masjid, truk sudah siap. Serombongan anak SMP tadi sudah naik ke truk sepertinya mereka telah menunggu kami. Kami pun bergegas mengangkat carrier kami ke truk dan segera menyusul naik ke truk.

Menurut kabar, butuh kurang lebih 2 jam untuk sampai ke Ranu Pani. Perjalanan menuju Ranu Pani melalui jalan menanjak yang cukup terjal. Jalan-jalan tersebut sebagian sudah sangat rusak akibat digunakan oleh truk dan jeep yang berlalu-lalang. Selama perjalanan itu tubuh kami pun harus bergoyang-goyang mengikuti irama truk yang bergoyang akibat jalan yang bergelombang. Tak jarang kepala kami pusing dibuatnya. Kami pun berulang kali harus menghindar dari ranting-ranting pohon yang memanjang hingga ke jalan. Perjalanan ini mengingatkanku akan perjalanan menuju Sembalun Rinjani ketika saat itu kami harus naik mobil pick up berbaur dengan barang-barang belanjaan dengan track yang juga luar biasa terjalnya.

Ya…tapi memang pasti ada imbalan setiap kesulitan yang didatangkanNya. Disepanjang perjalanan itu pula kami semua dibuat takjub akan keindahan alam yang begitu menyita mata. Pemandangan padang savana nan luas dengan bukit-bukit bak lukisan sedikitpun tak ingin mata kami lewatkan. Begitu luar biasa apa yang terekam oleh mata kami ini. Sayang sekali kami tak bisa mengabadikan pemandangan indah itu dengan baik karena truk terus melaju dengan bergoyang-goyang.

Setelah hampir satu setengah jam kami sampai di TPR. Disini setiap anak dikenai biaya 10rb untuk dapat masuk ke kawasan wisata TNBTS (Tanaman Nasional Bromo, Tengger, Semeru). Jarot turun dari truck dan membayarkan retribusi itu ke penjaga. Sementara kami stay berdiri di bak truk dengan perasaan takjub kami akan pemandangan disekitar tempat itu yang dihiasi dengan bukit-bukit yang dijadikan tempat berladang oleh warga. Tak lama sang sopir kembali memegang kendali dan truk mulai bergoyang pertanda truk kembali melaju.

Hampir 2 jam lebih, akhirnya truk memasuki kawasan pedesaan. Dikanan-kiri terlihat banyak rumah yang berjajar. Kulihat papan bertuliskan selamat datang di Ranu Pani. Ya…sepertinya telah sampailah kami di desa Ranu Pani. Desa terakhir sebelum jalur pendakian.

Tak lama setelah itu truk berhenti di sebuah tanah lapang yang sepertinya digunakan untuk taman parkir. Di tanah lapang itu banyak sekali truk dan Jeep berjejer rapi. Terlihat dari atas truk sebuah danau yang tidak terlalu besar. Sang sopir cepat memberi aba kalau kita sudah sampai di Ranu Pani. Dia pun segera membuka pintu belakang bak truk dan membantu kami menurunkan barang bawaan.

Sampailah kami di Ranu Pani. Tempat yang dulu hanya bisa kami baca dan kami lihat di film dan novel 5 cm. Tak terasa, sampailah kami di ujung peradaban sebelum kami benar-benar akan memulai petualangan pendakian ini.

Danau Ranu Pani. Ukurannya ternyata tidak terlalu besar. Kondisinya juga saat itu tidak terlalu bersih dan terlihat sudah banyak sampah di danau itu. Seturunnya kami dari truk, hujan rintik mengguyur. Kami segera melangkahkan kaki untuk menuju post registrasi pendakian Semeru yang terletak tak jauh dari Danau.

Perasaan lega sedikit menghias ketika di post registrasi kami jumpai banyak sekali calon pendaki. Bahkan kami harus mengantri cukup panjang untuk dapat registrasi. Wah sekali, baru kali ini post registrasi pendakian gunung ramainya seperti antrian mau nonton bioskop.hahaha

Setelah melengkapi persyaratan registrasi dan cukup lama mengantri pendaftaran, kami pun telah resmi terdaftar sebagai pendaki Semeru. Waktu menunjukkan sekitar pukul 14.00 lebih namun belum terlihat ada pendaki yang memulai pendakian. Kami pun mengambil inisiatif untuk mengisi energi dulu sebelum memulai petualangan. Lagi pula perut kami juga sudah mulai berontak lagi. Ya..kami segera membuka bekal yang dibuat oleh ibu Jarot dan dengan lahap memakannya. Mungkin ini akan menjadi prosesi makan dan menu makan yang paling benar selama 4 hari kedepan.hehe.

Memulai Pendakian

Langkah pertama pendakian akan segera berayun. Jam menunjukkan sekitar pukul 15.00. Aku bersama rombongan bergegas mengenakan semua atribut dan berbaris melingkar. Dan akhirnya petualangan hebat ini akan segera dimulai. Ya…petualangan mencapai titik tertinggi pulau Jawa. Bersama kami kembali mengucap doa berharap yang Maha Kuasa selalu memberikan kami keselamatan dalam petualangan ini.

Beberapa rombongan telah berangkat menuju jalur pendakian. Kami pun begitu, segera meluncur menuju jalur pendakian. Rencana pendakian kami sore ini akan kami lakukan sampai di Ranu Kumbolo. Disanalah malam itu kami akan bertenda. Menurut informasi yang kami dapat, butuh sekitar 4-5 jam perjalanan kaki untuk sampai di Ranu Kumbolo. Wah…lumayan juga.

Semula cuaca cerah mengiringi perjalanan kami membuat perjalanan terasa menyenangkan. Namun sepertinya Dia ingin memberikan kami tantangan lebih,  hingga akhirnya hujan gerimis mulai turun. Kami pun segera mengenakan  rain coat masing-masing, ada beberapa dari kami yang terpaksa membiarkan pakaian basah karena tidak membawa rain coat. 

Hujan berganti terang terus bergantian menghiasi perjalanan kami sore itu. Hingga akhirnya hujan terus turun dan semakin deras. Langkah kaki kami pun terasa semakin berat.

Hari sudah mulai gelap, kami bergegas mengeluarkan head lamp dan segala alat penerang. Hujan belum juga reda dan justru semakin deras. Hawa dingin mulai merasuk menerobos rain coat dan jaket yang aku kenakan. Carrier dan ayunan kaki terasa sangat berat akibat basah terkena air hujan. Hingga telapak kakiku terasa begitu dingin, sepertinya sepatu eiger tebal pinjaman itu pun telah tembus oleh air.

Sekilas ku lihat jam tangan yang aku kenakan, waktu sudah menunjukkan jam 7 malam. Itu berarti kami sudah berjalan selama 4 jam dan belum juga ada tanda-tanda sampai. Nafas kami semakin terengah pertanda oksigen sudah semakin menipis. Lintasan yang dialiri air hujan dan sangat licin begitu menguras tenaga kami. Belum hawa dingin dan oksigen yang sudah menipis membuat kami harus lebih sering break untuk mengumpulkan tenaga.

Sesekali kami jumpai pendaki lain saling sapa untuk mengobati rasa lelah yang mulai mendera, sepertinya mereka pun juga merasakan hal yang sama. Sungguh luar biasa tantangan pendakian malam itu.

Kami terus berjalanan menyusuri track yang basah dengan berulang kali break. Kami telah melalui 3 post, yakni post 1, 2 dan 3. Kabarnya ada 4 post sebelum Ranu Kumbolo.

Hingga pukul 8 malam kami melihat cahaya-cahaya kecil bersinar di arah bawah bukit. Tak lama setelah itu kami temui post 4. Kami berjumpa dengan pendaki lain di post itu dan bertanya-tanya. Mereka bilang kami sudah sampai di Ranu Kumbolo. Mereka bilang Ranu Kumbolo ada disebelah bawah sana tempat cahaya-cahaya itu berasal. Benar-benar tak terlihat danau itu karena gelapnya malam itu. Yang jelas Alhamdulillah akhirnya sampai juga.

Namun kami harus berjalan sekitar setengah jam untuk sampai di tempat perkemahan. Wah…masih harus jalan lagi ternyata. Padahal rasanya kaki dan tubuh ini sudah membeku karena hawa dingin yang sangat menusuk ini. Kami pun segera bergerak karena semakin lama kami berhenti akan semakin terasa dingin ini.

Jam 20.30 WIT, akhirnya kami sampai juga di tempat perkemahan. Kami mencari tempat datar untuk mendirikan tenda. Dari arah depan pantulan cahaya sesekali terlihat. Jadi benar, ada danau di depan sana dan danau itu adalah Ranu Kumbolo. Malam ini kami belum bisa menyaksikan wajah dari danau itu.  Kami bergegas mendirikan tenda dan mengganti pakaian kami yang basah. Sebagian dari kami mulai memasak untuk makan malam. Makan malam bersama di tenda saat itu terasa sangat nikmat. Setelah itu kami duduk melingkar didalam tenda dan mengadakan sedikit evaluasi untuk perjalanan dari Ranu Pani tadi. Dan malam itu, seperti muncul rasa kekeluargaan erat diantara kami. Kesatuan yang semakin teguh untuk mencapai puncak tertinggi pulau Jawa.

Ranu Kumbolo, 28 Juni 2013

Pagi itu hawa dingin menusuk tulang kami. Mentari belum juga mau menampakkan diri. Tertutup awan mendung yang sejak malam menghias atap bumi. Rintik hujan masih terus berjatuhan. Kabut tebal terlihat setia menyelimuti tempat itu. Membuat kami seakan enggan untuk keluar dari tenda kami yang nyaman. Berdoa kami di dalam tenda agar mentari segera menampakkan sinarnya agar kami bisa melanjutkan petualangan ini.

Sekitar pukul 07.30 WIT doa kami sepertinya didengarNya. Rintik hujan mulai berhenti. Mentari dengan masih sedikit malu-malu mulai menampakkan wujudnya. Walau masih begitu redup tapi sungguh terasa hangat di tubuh kami. Serentak kami keluar tenda dan menyaksikan apa yang sekiranya ada di luar sana. Dan seperti lukisan besar terpajang didepan sana membuat mata kami terbelalak takjub akannya. Ya…jadi inilah dia…inilah danau indah yang menjadi dambaan orang-orang itu…Ranu Kumbolo..

Tiada sanggup berkata akan keindahan yang menghias mata kami saat itu. Danau yang begitu mempesona. Airnya sangat jernih. Bukit-bukit berjajar di sekelilingnya. Hamparan luas rerumputan yang mulai menguning menghias setiap jengkal tanah sekitar danau itu. Air danau yang kemudian terlihat berasap ketika sang mentari muncul tanpa malu lagi. Sungguh indah apa yang kami lihat saat itu. Kameraku pun tak berhenti bekerja.

Lama kami terbuai akan keindahan itu, hangatnya mentari sekelibat meningatkan kami akan kondisi barang-barang kami yang basah kuyup akibat perjalanan semalam. Kami pun segera lari sementara dari keindahan itu dan beralih sibuk menjemur barang-barang kami itu. Sambil sebagaian menyibukkan diri memasak untuk kami sarapan.

Alhamdulillah, semakin waktu berjalan semakin mentari memberikan kehangatan lebih. Membuat pakaian kami yang semula basah kuyup mulai mengering. Walau itu tak cukup untuk mengeringkan sepatu kami yang sangat tebal.

Setelah sarapan dan beres me repack ulang bawaan, kami pun siap untuk melanjutkan perjalanan.  Oiya…di Ranu Kumbolo kami mendapat teman-teman baru, mereka adalah rombongan dari Surabaya. Sebelum berangkat kami pemanasan bersama di tepi danau sambil bersenda gurau. Setelah itupun kami bergantian saling meminta bantuan untuk mengabadikan kenarsisan kami.

Akhirnya, sekitar pukul 10.00 WIT kami kembali berkumpul membentuk lingkarang, menghaturkan doa sebagai pertanda kami akan kembali meneruskan petualangan ini.

Bertenda di Kalimati
Kurang lebih 7 menit berjalan, terlihat dari kejauhan banyak sekali tenda berwarna-warni berjajar di tepi danau itu. Yah….ternyata kami baru tau kalau sebenarnya semalam kami bukan menginap di tempat yang seharusnya. Ternyata diseberang sana ada pos yang disampingnya tersedia tanah lapang yang luas untuk para pendaki bertenda. Ya maklum saja, semalam kan kami sudah begitu lelah dan kedinginan. Sehingga ingin cepat-cepat mendirikan tenda dan beristirahat.

Kami break di post itu. Subhanallah, ternyata view danau dari tempat ini jauh lebih indah dibanding tempat tadi. Sunrise akan terlihat jelas disini. Langsung ambil code, nanti kalo pas pulang ngecampnya bakalan disini.
Setelah cukup beristirahat, kembali kami berdiri dan mengencangkan segala bentuk pertalian. Disebelah belakang kami sudah menanti tanjakan yang sangat tinggi. Ya…Tanjakan Cinta.

Teringat akan kisah yang diceritakan di novel dan film 5 cm akan kepercayaan akan Tanjakan ini yang menceritakan bahwa jikalau kita tidak menengok kebelakang selama menaiki tanjakan ini, maka impian mengenai kisah percintaan kita akan terkabul.

Aku pun iseng-iseng merancang kata untuk mendaki tanjakan itu. Walau sebenarnya aku sangat ragu juga dengan keabsahan cerita itu..Haha…Selama aku menanjak terdengar dari belakang kawan-kawanku pada iseng memanggil namaku agar aku menengok. Tapi aku sedikitpun tak tergoda. Namun hampir saja Luna berhasil mengelabuhiku, aku hampir saja menengok karena Luna menyebut ada barangku yang jatuh. Sialan..hampir saja..tapi untung ndak jadi..hahaha.

Tanjakan ini ternyata memang lumayan tinggi. Berulang kali aku harus break karena nafasku sangat terengah. Akhirnya akupun berhasil juga sampai di atas tanjakan cinta. Rasa lelah secepat kilat terampas oleh keindahan yang aku lihat dari atas. Ya…Ranu Kumbolo terlihat begitu mempesona dari tempat itu.

Tidak cukup itu, mata kami kembali dibuat terbelalak akan apa yang kami lihat setelah beberapa menit melangkah meninggalkan puncak tanjakan cinta. Ya…adalah oro-oro ombo, hamparan lembah yang ditumbuhi lavender berwarna ungu dengan dihiasi bukit-bukit hijau disekelilingnya. Sekali lagi, keindahan yang sangat luar biasa. Ini adalah salah satu pemandangan yang terindah dalam hidupku.

Rencana kami masih bimbang apakah kami akan ngecamp di Kalimati ataukah Arcopodo. Kami beberapa kali bertanya kepada pendaki lain mengenai hal ini. Banyak dari mereka menyarankan agar kami ngecamp di Kalimati. Menerut mereka ada beberapa alasan yang membuat mereka lebih memilih ngecamp di Kalimati. Yang pertama karena di Arcopodo sudah tidak ada sumber air lagi dan yang kedua karena badai yang sering melanda kawasan Arcopodo. Hum..ternyata cukup ngeri juga ya...Padahal kalau di novel 5 cm para tokohnya ngecamp di Arcopodo. Kami pun akhirnya memutuskan untuk ngecamp di Kalimati saja.

Perjalanan menuju Kalimati menyajikan pemandangan yang cukup beragam. Dimulai dari keindahan oro-oro ombo, hutan yang penuh dengan pohon cemara (cemoro kandang), hutan yang sepertinya sudah mati penuh pohon-pohon besar yang tumbang, dan jurang-jurang. Tanjakan landau hingga terjal cukup mendominasi. Kami sering kali harus rehat untuk memulihkan tenaga. Disela-sela rehat, kami berjumpa dengan serombongan pendaki yang datang dari arah yang berlawanan. Sepertinya mereka sudah menyelesaikan petualangan. Tiba-tiba mereka bertanya, “mau muncak mas? ” “Iya mas, rencana mau muncak,”jawabku. Hati-hati ya mas, semalam badai. Kalau badai mending turun aja mas, bahaya.” Nasehat mereka. Mendengar cerita mereka akan badai yang menerjang mereka ketika mereka summit attack membuat ketakutan mendera hati kami. Pendaki sekelas mereka saja sampai seperti itu. Apalagi kita. Entah kenapa kekhawatiran sedikit menyelimuti hati kami semenjak mendengar cerita pendaki tadi. Namun kami tetap melangkah, walau entah kami nanti jadi atau tidak untuk berjuang hingga puncak kami.  

Sudah cukup lama kami berjalan, namun belum terlihat sama sekali dimanakah puncak tertinggi Jawa itu. Selama perjalanan kami pun hanya bertanya-tanya dan menggumam dalam hati, seperti apakah perjalanan menuju puncak nanti.

Dan akhirnya pertanyaan kami itupun terjawab. Ketika kami break di salah satu post, kami akhirnya bisa melihat puncak itu dari kejauhan. Subhanallah…sungguh gunung yang megah. Terlihat gunung itu dihiasi oleh pasir. Hampir setengah lebih dari badan gunung yang terlihat mata kami itu dihiasi pasir. Dan itulah tantangan yang harus kami lalui nanti jikalau kami memutuskan untuk berjuang hingga puncak.

Tak lama kami berjalan dari post itu, aku yang berjalan paling depan melihat disebelah kiri track ada sebuah kali yang memanjang. Tak lama setelah itu beberapa tenda terlihat dari kejauhan. “Kalimati” batinku. Kami terus berjalan hingga kami menemui plang bertuliskan “Kalimati”. Alhamdulillah, akhirnya samapai juga kami di Kalimati.

Sesampainya kami disana, kami disuguhi dengan pemandangan yang membawa kami dalam dilemma. Ya…dari kalimati terlihat jelas badan gunung itu. Dari sini terlihat lebih jelas dan besar. Terlihat seperti ada goresan di badan gunung itu, “itu tracknya”!!sebutku. Sungguh, sepertinya akan menjadi perjuangan yang luar biasa bila kami memutuskan untuk berjuang hingga puncak.

Di Kalimati kami segera mendirikan tenda dan mencari kayu bakar untuk membuat perapian. Hawa dingin sangat terasa disini. Kami harus membuat perapian untuk menghangatkan tubuh. Lalu sebagian dari kami mulai memasak dan sebagian lainnya pergi ke sumber air untuk mengambil persediaan air. Sebagian dari kami juga menjemur pakaian dan sepatu kami yang sebagian masih basah. 

Mentari mulai kembali sembunyi, terang tak terasa mulai berganti gelap. Kami berkumpul di dalam tenda untuk berdiskusi akan langkah yang akan kami ambil selanjutnya.

Summit Attack

Pukul 11 malam kami terbangun oleh alarm yang memang sengaja kami setting. Baru sebentar rasanya kami terlelap, tapi kami harus cepat bangun. Diskusi yang kami lakukan sebelum tidur tadi membawa satu keputusan untuk tetap melanjutkan langkah menuju puncak tertinggi Jawa.

Luna dan Mae sudah bangun duluan. Wanita-wanita pemberani ini sudah sibuk mempersiapkan makan sejak mereka bangun tadi. Kami para lelaki tinggal bangun dan makan saja.

Makan malam itu terasa hambar. Entah kenapa tapi rasanya mulut sangat tidak enak untuk makan. Tapi bagaimanapun kami harus makan. Menurut kabar yang kami dengar, summit attack membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Kami harus mengisi energy untuk melakukan perjalanan sejauh itu.

Sekitar jam 12 malam kami sudah siap dengan atribut kami. Pakaian ekstra tebal, sepatu, sarung tangan dan segala bentuk penghangat kami tempelkan ke badan kami. Sangat dingin suasana pada dini hari itu. Kami kembali berdiri melingkar, memanjatkan doa sebagai pertanda langkah kami menuju puncak akan segera dimulai.

Dan benar, tekad kami sudah membulat dan apapun yang terjadi kami tetap akan melangkah menuju puncak. Satu, dua, tiga diikuti langkah selanjutnya membawa kami menjauh dari Kalimati. 

Tidak lama kami berjalan melewati lembah, kami dihadapkan dengan track tanjakan yang diselimuti hutan. Tanjakan terus hadir membuat kami harus sering kali break untuk menghela nafas. Nafas kami sesak, sepertinya oksigen masih sangat tipis karena kami harus berebut dengan pohon-pohon disekeliling kami.

Berulang kali kami harus break karena Mae sering tidak kuat, dia sedang datang bulan. Pastinya sangat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya.

Hampir 4 jam lebih kami berjalan menyusuri hutan dengan track yang menanjak, kami akhirnya sampai di Arcopodo. Kami kembali menjatuhkan tubuh kami ke tanah, sangat lelah rasanya. Jadi inilah Arcopodo, tanah lapang yang tidak terlalu luas diantara hamparan tanah yang terjal. Terlihat ada beberapa tenda berdiri, jadi masih ada yang ngecamp disini.

Aku berdiri karena terlihat olehku sebuah papa nada diseberang sana. Aku menghampirinya. “In memoriam….”, tulisan itu sempat membuat bulu kuduku berdiri. Hati menjadi bergetar akannya. Ternyata benar pernah ada pendaki yang meninggal disini. Aku hanya menutup mata, bibir dan hati seketika mengucap doa. “Ya Rab..berilah hambamu kekuatan, kuatkanlah kaki dan tekad kami untuk menggapai puncak tertinggi jawa. Akan kami lanjutkan perjuanganmu kawan!”batinku dalam hati.

Cukup lama kami kami membaringkan tubuh di Arcopodo, kami harus segera melanjutkan langkah kaki. Masih separuh jalan lebih track yang harus kami daki untuk mencapai puncak. Track yang sama kami lalui, track menanjak yang diselimuti hutan. Beberapa kali kami jumpai papan bertuliskan in memoriam. Membuat hati dan mulut kami terus menghaturkan doa.

Terlihat didepan sana track berbeda mulai muncul. Track yang sangat menanjak. Terlihat kerlap-kerlip lampu memanjang membentuk garis. Ya…dan itulah tantangan sesungguhnya. Track panjang menanjak dan berpasir. Sampailah kami di batas antara hutan dan lautan pasir”Cemoro Tunggal”. Di post ini sangat banyak sekali papan bertuliskan in memoriam. Sejenak aku menghela napas melihat begitu tingginya track yang akan kami lalui. Ternyata perjuanagn untuk menggapai puncak memang sangat berat. Kami masih harus mendaki separuh perjalanan lagi, dan separuh perjalanan itu berupa hamparan pasir dengan tanjakan yang sangat tinggi.

Kami kembali berkumpul melingkar dan bergenggaman tangan. Senada doa kami haturkan untuk keselamatan kami melalui track terjal berpasir ini. Setelah itu kembali kami teriakkan bersama satu kata “Mahameru”!!!!

Langkah kaki kami kembali mengayun. Dan benar, sekali kaki kami melangkah maju, pasir menyeret kaki kami mundur setengah langkah. Ayunan langkah kaki kami bertambah berat karena track berpasir nan terjal.
Beberapa lama berjalan, kami terbagi menjadi 2 kelompok. Aku, Prast dan Luna ada di depan. Jarot, Udin, Mae dan Acong di belakang. Sepertinya Mae harus mendapatkan cover lebih karena kembali dia merasa sulit untuk melangkah. Sedang apabila kami semua terlalu lama berhenti justru kami bisa-bisa terkena hipotermia. Akhirnya aku, Prast dan Luna terus melaju di depan. Sedang 4 yang lain dibelakang mengcover Mae.

Aku dan Prast secara bergantian mengcover Luna. Berulang kali kami membaringkan tubuh kami di pasir. Sungguh ini track yang luar biasa. Bahkan lebih berat dari apa yang pernah kami hadapi sewaktu summit attack di Rinjani. Belum genap sepuluh langkah berayun, kami harus merebahkan tubuh karena kelelahan. Namun ketika mata kami menatap langit, lautan bintang diatas sana seperti memberikan senyum hangat yang mendorong tekat kami kembali membualat. Kami sempat menjumpai ada seorang pendaki wanita sepertinya kena hipotermia. Ngeri kami melihatnya.

Sudah hampir 4 jam kami melalui track terjal berpasir ini, namun puncak masih terlihat sangat jauh. Kaki kami benar-benar mulai lelah. Bahkan aku sendiri sempat merasa putus asa dibuatnya. Sungguh, sepertinya sudah sangat jauh kami jalan namun puncak terlihat masih sangat jauh. Luna terus memberikan suntikan semangat, dia selalu bilang “Ayo, sedikit lagi”. Membuat kami memaksakan kaki kami yang terasa mematung untuk kembali bergerak.

Disekitar kami sangat banyak pendaki-pendaki lain yang menuju tujuan yang sama. Mereka juga merasakan hal yang sama. Tapi mereka tidak menyerah dan terus melangkah. Aku pun juga harus seperti itu.

Terus kami melangkahkan kaki kami yang semakin terasa berat. Semburat cahaya silau mulai nampak dari arah sebelah kiri. Ya…dan inilah yang banyak orang tunggu. “Sun Rise is Coming”, teriak pendaki-pendaki lain. Langkah kami terhenti, kami rebahkan tubuh ke pasir. Keindahan itu sungguh telah menyita mata kami.

Keindahan itu seperti membawa kekuatan baru bagi kami untuk terus melangkah. Setelah puas menyaksikan keindahan itu, kami melanjutkan langkh kaki kami. Semakin keatas, semakin berat rasanya. Berulang kali kami harus merangkak sedang kami harus sangat berhati-hati karena beberapa kali terdengar suatu teriakan “rock, awas batu” dari arah atas. Sedang disamping kanan-kiri kami adalah jurang. Kalau tidak berhati-hati sedikitsaja, akibatnya akan sangat fatal.

Ujuang track ini mulai terlihat dekat, aku berada paling depan terpisah dengan prast dan luna. Aku tidak kuat jika harus terlalu lama berhenti. Sesekali aku lihat dari arah atas kepulan asap putih menghias langit, pertanda memang gunung ini masih aktif.









Dan akhirnya tidak lama setelah itu, seorang pendaki lain memberiku kode. “Semangat mas, dibalik batu ini”, katanya sambil tersenyum. Entah datang darimana, kakiku terasa kembali ringan dan rasanya sanagat ingin berlari. Aku pun berlari dengan sisa-sisa tenaga yang aku punya. Hingga akhirnya, terlihat bendera merah putih dihadapanku. Ya…inilah dia tempat itu…dan itulah bendera yang aku lihat di situs internet..Ya…benar..inilah dia puncak tertinggi Jawa “Mahameru”. Melihat bendera itu aku bersujud, Alhamdulillah, akhirnya ya Rab…salah satu impianku di tahun ini benar-benar tergapai…Terimakasih atas semua ini…terimakasih!!!!!!!!

Aku membaringkan tubuh di tanah lapang itu, sambil kembali mengatur nafasku yang sejak tadi terangah.  Tidak lama setelah itu datanglah Prast dan Luna. Mereka juga segera menyusulku merebahkan tubuh. Dan setengah jam berselang datanglah Udin, Acong, Mae dan Jarot. Yah..Alhamdulillah semua akhirnya bisa sampai puncak. Suatu kebahagiaan tiada tara. Akhirnya tekad kami mampu membawa kami menginjakkan kaki di tanah tertinggi Jawa. Mahameru 3676 MDPL. 

Diatas sana kami menghabiskan waktu untuk berdoa, berfoto, dan melihat keindahan yang sangat luar biasa. Benar-benar negeri diatas awan. Diatas sana kami kibarkan sang saka dan bendera kebanggaaanku BSG. Sungguh perjalanan mencapai puncak yang sangat luar biasa. Perjalanan yang memunculkan suatu kebanggaan kami atas bangsa ini. Benar-benar bangsa yang indah.

Tak boleh berlama-lama, kami harus segera turun. Jam 9 kami harus sudah turun karena kabarnya arah angina akan berubah kearah jalur pendakian. Hal itu sangat berbahaya karena bila erupsi kembali terjadi maka awan panas dengan gasnya akan mengarah ke pendaki. Jika itu terjadi, akan sangat fatal akibatnya.
Kami turun dengan perasaan girang. Akhirnya kami bisa juga menapakkan kaki di puncak tertinggi Jawa. Kami turun hampir dengan berlari, track dengan pasir tebal membuat langkah kaki menurun terasa ringan. Seperti bermain selancar. Untuk kembali sampai di cemoro tunggal pun tidak membutuhkan waktu yang lama. Hanya sekitar 1 jam kami sudah sampai disana. Kurang dari 4 jam kami sudah kembali sampai di Kalimati. 

Turun dengan Kebanggaan

Sesampainya di kalimati kami beristirahat dengan tidur siang. Rencana kami akan cabut dari kalimati siang ini untuk kembali menuju Ranu Kumbolo. Kami akan ngecamp semalam lagi disana karena terlalu berisiko kalau kami langsung menuju Ranu Pani.

Sekitar jam 14.00 kami berangkat dari kalimati menuju Ranu Kumbolo. Hanya butuh sekitar 3 jam lebih sedikit kami sudah sampai di Ranu Kumbolo. Disana kami langsung mendirikan tenda untuk bermalam.

Pagi itu di Ranu Kumbolo, cuaca sangat cerah..kami benar-benar kembali disuguhi dengan keindahan yang sangat luar biasa. Adalah sunrise di Ranu Kumbolo. Begitu mempesona.

Sekitar pukul 9 pagi kami berangkat dari Ranu Kumbolo menuju Ranu Pani. Butuh waktu sekitar 5 jam untuk samapai disana.

Sesampainya di Ranu Pani kami sangat girang, akhirnya kembali kami bisa mendengar suara motor dan melihat orang-orang selain pendaki. Kami juga bisa kembali melihat rumah-rumah penduduk.hehe…Alhamdulillah…

Sesampainya di Ranu Pani kami benar-benar seperti orang kelaparan yang udah berapa tahun ga makan. Setelah selesai urusan laporan di post registrasi, kami berburu makanan. Ya..aku dan prast langsung menuju arah bakso Malang. Kebetulan sekali aku sedang sangat ingin makan, makanan berkuah. Sedang yang lain sepertinya lebih memilih makan rendang dan entah apa di warung tempat kami beristirahat setelah sesampainya di Ranu Pani tadi. Tidak cukup satu, aku sampai habis bakso 2 mangkok. Hahaha…begitu nikmat rasa bakso itu. Setelah puas dengan makanan, kami lanjut berburu pernak-pernik Mahameru.

Kami pun kembali berjalan menuju tempat parkir untuk mencari truk yang akan membawa kami kembali ke Tumpang. Setelah agak lama menunggu, akhirnya kami pun dapat juga truknya. Kami pun kembali merasakan goyangan ala truk yang melewati jalanan yang rusak.

Beda dengan sebelumnya, truk kali ini menurunkan kami di Tumpang yang kota. Bukan yang desa seperti kemarin. Disini kami sangat mudah mencari angkot untuk kembali ke terminal Arjosari. Baru turun dari truk saja sudah ada sopir angkot yang menawarkan jasa. Biayanya pun terbilang jauh lebih murah dibanding pertama kami mencarter angkot dari Argosari menuju ke Tumpang.

Kami bersama dengan serombongan pendaki lain yang berasal dari Surabaya menuju ke Arjosari dengan mobil angkot yang sama. Sekitar pukul 7 malam kami sampai di terminal. Dan saat itulah kami harus terpisah. Acong dan Mae harus menunggu semalam di Malang karena kereta mereka menuju Jakarta baru akan berangkat besok sore, sedang kami harus segera kembali ke Surabaya dan Kejogja malam ini.

Berpisahlah kami di setelah kami turun dari angkot. Saling peluk dan mengucapkan terimakasih tak segan kami lakukan kepada sahabat-sahabat kami yang sangat luar biasa ini. Tak ingin rasanya kami berpisah saat itu, namun itulah sekiranya yang harus kami lakukan. Kami berjanji suatu hari nanti kami akan kembali melakukan petualangan bersama di medan yang berbeda.

Setelah Acong dan Mae pergi, kami berempat berjalan menuju ke terminal untuk mencari bus. Dan diluar dugaan, sangat sulit mencari bus menuju Surabaya pada malam itu. Kami harus menunggu sangat lama dan berebut dengan para calon penumpang lain, namun akhirnya kami mengalah karena sangat sulit bagi kami dengan bawaan kami yangh sangat besar ini. Sungguh terminal yang sangat tidak teratur. Kehidupan jelas terlihat sangat keras ditempatini. Setelah beberapa kali gagal mendapatkan bus, kami sempat memutuskan untuk berhenti dan menunggu hingga esok hari. Kami pun menuju ke sebuah rumah makan untuk mengisi perut yang sudah sejak tadi keroncongan. Dan Allah memang maha adil, setalah selesai kami makan, datang sebuah bus jurusan Surabaya. Bus itu berhenti tak jauh dari kami, kami pun segera membayar semuamakanan dan lari menuju bus. Akhirnya, kami bisa naik ke bus itu dan alangkah beruntungnya kami bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman. Memang, keberuntungan begitu dekat dengan kami.hehehe
Lama kami terlelap, tak terasa sudah sampai kami di Surabaya. Kami segera mencari bus untuk kembali ke Yogyakarta. Dan mencari bus di terminal Surabaya tidaklah sulit, kami langsung mendapatkan bus tujuan Jogja disana.

Dan Alhamdulillah kami akhirnya tiba di Jogja sekitar jam 11 siang. Dan selesai sudahlah cerita petualangan hebat ini. Sungguh merupakan salah satu petualangan terbaik dalam hidupku. Apapun yang terjadi selama petualangan ini akan benar membekas dihati. Petualangan yang akhirnya membawa impian kami menapakkan kaki di puncak tertinggi jawa menjadi kenyataan. Perjalanan yang menumbuhkan kembali jiwa petualang kami yang sempat meredup. Petualangan yang meninggikan cinta kami terhadap ibu pertiwi. Petualangan yang menjadikan persahabatan kami semakin erat. Terimakasih Tuhan atas keselamatan yang Kau berikan selama kami berpetualang, dan terimakasih Mahameru atas segala keindahan luar biasa yang telah kau suguhkan kepada kami. (To be continous, waiting for the next adventure).

Gallery 























  







     










0 komentar:

Posting Komentar

Flowers

Flowers
The beauty Arachnis

Serangga galau

Serangga galau
The Romantic Insect

Amblyphigi

Amblyphigi
Salah satu biota penghuni ekosistem Gua
 

Browse