Hari
itu aku masih disibukkan dengan Sidang Umum HIMABIO yang telah memasuki hari
kedua. Yah...akhirnya aku di demisioner juga dari organisasi yang telah berjasa
membesarkanku sampai aku jadi seperti ini. Malam sebelum hari itu adalah malam
yang cukup berat bagiku karena aku harus menyaksikan pemberhentian jabatanku
dari pengurus HIMABIO. Dua tahun yang begitu cepat berlalu. Terlebih sedih lagi
ketika anak-anaku di Humas HIMABIO malam itu serentak menghampiriku dan menundukkan
kepala dihadapanku. Malam yang penuh air mata. Malam dimana aku merasa seperti
sangat kehilangan.
Sebelumnya
aku mendengar kabar bahwa BSO Arwana akan mengadakan pendakian gunung Sumbing
yang terletak di jawa tengah. Banyak dari teman-teman yang berencana ikut serta
dalam agenda itu. Wah….gunung sumbing. Salah satu gunung yang menjadi mimpiku.
Kebetulan sekali, aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mencoret
salah satu mimpiku itu. Tidak berfikir panjang lagi, segera aku putuskan untuk ikut
serta dalam pendakian itu.
Minggu, 23 Desember
2012 cerita itu bermula. Pengalaman hidup yang tak akan pernah aku lupakan.
Sore
setelah Sidang Umum yang cukup melelahkan itu selesai, kami janjian untuk
berkumpul di dekanat selatan gedung FMIPA UNY. Aku dengan niat dan segala
perlengkapanku pergi menuju tempat itu dengan rasa pasti. Segera setelah aku
sampai ditempat itu, aku jumpai muka-muka yang penuh ceria dan percaya diri
telah cukup lama menanti kedatanganku. Canda, tawa, kehangatan dan kebersamaan
dimulai disini. Orang-orang hebat yang ternyata akan mengajariku tentang banyak
arti hidup dalam petualangan itu.
Setelah
cukup lama menanti, akhirnya lengkap sudah para petualang yang akan ikut serta
dalam rombongan. Total semuanya ada 16 orang (Vio menunggu di Magelang). Jumlah
yang cukup banyak untuk ukuran pendakian gunung. Aku, Anand, Aziz, mas Ulul,
Adit, Udin, Jarot, Prast, Prajawan, Rista, Rizqa, Fanny, Putri, Vio, Karina,
dan yang termuda Nrangwesti adalah para petualang yang akan menjadi tokoh-tokoh
hebat dalam kisah petualangan ini.
16
tangan menjadi satu. Keberangkatan kami diawali dengan berdoa dan menyatukan
tangan kami serta menyorakkan jargon berisi kata-kata semangat. Bersiaplah kami
dikuda-kuda pejuang kami (baca:motor) dan segera memulai perjalanan menuju
Wonosobo.
Perjalanan
menuju Wonosobo bukanlah perjalanan yang mudah. Sepanjang perjalanan itu kami
dibubuhi hujan lebat. Tidak jarang juga kami terjebak dalam kemacetan. Hawa
dingin dank abut tak luput menghiasi perjalanan panjang itu. Walau cukup
melelahkan, tapi kami tetap bersemangat. Hampir 3 jam perjalanan melewati kota
Magelang dan Temanggung, sampailah juga kami di kota tujuan. “Wonosobo”.
Malam
itu terasa amat dingin. Perut seperti telah enggan menahan rasa lapar dan
berontak minta diisi. Perjalanan panjang dari Jogja-Wonosobo memang cukup
menguras tenaga kami. Tak hayal, setelah kami sampai di base camp pendakian
gunung Sumbing tanpa basa-basi kami langsung memesan makanan. Nasi goreng, nasi
telur dan minumam jahe hangat menjadi pilihan kami malam itu. Sembari menanti
pesanan kami datang, kami menuju masjid yang tidak jauh dari base camp untuk menunaikan
ibadah shalat isya. Air…air….air….nya dingin sekali. Ketika berwudhu, rasanya
seperti diguyur air es..mak nyess…Ketika buang air kecil..rasanya jadi
mengkerut..loh..apanya yang mengkerut?haha
Yah…setelah
lama menunggu, pesanan makanan kami datang juga. Tanpa diminta lagi kami
langsung melahap sajian malam itu. Nasi goreng yang terasa sangat lezat. Wedang
jahe yang sangat joss gandos. Sungguh sangat spesial sajian malam itu, tapi aku
yakin bukanlah karena enaknya masakan makanan itu yang membuat nikmatnya
makanan itu di lidahku, akan tetapi karena malam itu aku makan bersama dengan
sosok-sosok yang luar biasa (Baca:sahabat).
Aziz
sang leader petualangan kali ini segera bangkit setelah kami semua selesai
menyantap makan malam. Dia menghimbau semuanya untuk segera tidur. Kami pun
serentak mengeluarkan SB masing-masing dan segera menempatkan diri untuk tidur.
Kami memang harus pandai-pandai menghemat energi, karena petualangan
sesungguhnya baru akan di mulai esok hari. Yah….Pendakian gunung Sumbing.
Datangnya
pagi perlahan membuka mata kami. Hawa dingin pagi itu sedikit memanjakan mata
kami dan membuatnya sulit untuk terbuka. Walau begitu, kami segera membuka mata
kami lebar-lebar karena pagi itu petualanagn hebat akan dimulai.
Dimulai
dengan shalat subuh berjamaah, sarapan pagi dan me-repack barang bawaan kami
lakukan semuanya dengan penuh antusias. Terdengar suara sang leader yang
meminta seluruh personil untuk berkumpul di halaman depan base camp pertanda
bahwa perjalanan akan segera dimulai. Mas ulul sang senior meminta semuanya
untuk pemanasan dan melemaskan otot-otot. Hal ini amatlah penting untuk
mengawali kegiatan-kegiatan yang menggunakan otot dan pikiran seperti salah
satunya pendakian gunung.
Lanjut
setelah selesai memimpin pemanasan, Mas Ulul segera membuka bicara dan memimpin
teman-teman semua untuk berdoa yang selanjutnya diikuti dengan menyatukan
tangan dan menggelorakan kata-kata semangat bersama. Ya….selalu kami awali
cerita ini dengan berdoa dan menyatukan semangat.
Tibalah
saat kaki harus setia melangkah, mengikuti impian yang telah kami gantungkan 5
cm di depan mata kami. PUNCAK SUMBING (Baca: 3371 Mdpl).
Sekitar
8 Jam, adalah waktu yang harus kami tempuh untuk dapat mencapai puncak
sumbing(kata petugas base camp sumbing). Langkah pertama, kedua, ketiga,
keempat, kelima, keenam, ketujuh……terus dengan tekat kuat dan percaya diri kami
ayunkan kaki kami masing-masing menyusuri jalur-jalur pendakian. Senda gurau,
tawa, ceria, selalu menghiasi langkah demi langkah. Sumbing sudah menyajikan
keindahan semenjak langkah pertama kaki kami. Terlihat dari arah belakang
gunung Sindoro tinggi menjulang, kanan kiri jalur pendakian dihiasi dengan
desa-desa yang kemudian berganti ladang-ladang petani yang tertata rapi, dan
selanjutnya berganti lagi menjadi hutan yang penuh pepohonan. Semakin lama kaki
ini melangkah semakin terasa lelah coba menghinggapi. Track pendakian yang
selalu menanjak memang tantangan yang harus kami hadapi dalam petualangan ini.
Satu
jam, dua jam, tiga jam, kami melangkahkan kaki menyusuri track yang selalu
mendaki. Tak mau memaksakan diri, setiap ada teman yang kelelahan selalu kami
selingi langkah kaki kami dengan beristirahat. Walau hanya sebentar waktu untuk
beristirahat, namun waktu yang sebentar itu cukup bagi kami untuk menghela
nafas dan mengusir sejenak rasa lelah.
Hah….setelah
hampir 3 jam melangkahkan kaki, sampailah juga kami di post 1. Post ini terletak
setelah perbatasan antara ladang petani dengan hutan. Dekat dengan post ini
kami temui sungai kecil yang airnya begitu bening dan segar. Begitu
beruntungnya kami menemukan sumber mata air ini karena persediaan air memang
butuh untuk diisi. Sebuah isyarat bahwa alam tidak akan menyiksa kita. Sebuah
isyarat bahwa Allah menciptakan alam ini dengan segala pertimbanganNya. Sungguh
tatanan alam yang rapih dan sistematis. Tidaklah pantas disebut sebagai kebetulan
semata.
Setelah
cukup beristirahat, kami putuskan untuk melanjutkan langkah kaki kami.
Selanjutnya kami akan berjalan menuju post 2. Kami lihat dipeta yang diberikan
oleh pengurus base camp, terlihat jarak antara post 1 dan post 2 tidaklah
begitu jauh (entah skala apa yang digunakan). Dengan semangat kami pun kembali
melangkahkan kaki memulai perjalanan menuju post 2.
Akan
tetapi kenyataan yang ada berbeda telak dengan apa yang tergambar di dalam
peta. Jarak yang kami tempuh untuk sampai di post 2 ternyata cukuplah jauh.
Hampir 3 jam kami melangkahkan kaki untuk sampai di post ini. Jam 13.00 WIB
dengan nafas yang cukup tersengal sampailah kami di post 2. Rasa lapar mulai
datang, kami tak punya cukup waktu untuk memasak di post ini. Hanya roti dan
cemilan seadanya kami lahap untuk sekadar mengganjal perut kami yang
keroncongan. Di post ini, kami putuskan untuk melakukan ibadah shalat. Memang
tidak ada sumber air disini. Tetapi Allah lewat alamnya memang tidak pernah mau
menyiksa makhlukNya. Disekitar post ini banyak tumbuh rerumputan dan perdu yang
mengandung cukup air untuk kami bertayamum. Dengan khitmat kami lakukan ibadah
shalat siang itu di tengah hamparan keindahan alamNya.
Setelah
beristirahat, menyantap roti dan shalat, segera kami bersiap melanjutkan
perjalanan itu. Sang leader memutuskan bahwasanya kami akan menginap di post
watu kotak (semula terbayang dekat). Dengan rasa pasti kami kembali memulai
langkah kaki kami menuju watu kotak. Kami tidak menyangka sebelumnya,
perjalanan kami menuju watu kotak ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan
kami lupakan seumur hidup(Baca:pelajaran hidup).
Ditengah
petualangan inipun, Sang Pencipta tetap mengingatkan kami akanNya. Ditengah
perjalanan ketika kami hendak beristirahat, kami menjumpai papan bertuliskan in
memoriam. Sejenak kepala kami menunduk mengucapkan syukur. Sungguh ya Rab…hidup
ini memang KuasaMu. Jikalau Kau kehendaki, disaat itupun bisa saja dengan mudah
Kau ambil nyawa kami. Tapi Engkau sungguh Maha mengetahui seluruh isi hati.
Sekitar
jam 5 sore itu sampailah kami di post pestan, pertemuan antara jalur lama dan
jalur baru pendakian gunung Sumbing. Tanpa sadar, rombongan kami terbagi
menjadi 2. Kami yang duluan sampai di pestan memutuskan untuk menunggu
teman-teman kami yang tertinggal cukup jauh di belakang. Sembari menunggu, kami
hempaskan tubuh kami di tanah berumput. Lelah, lemas, pegal-pegal mulai terasa
menghantui badan kami. Langit tertutup oleh hamparan kabut putih tebal membuat
kami tak bisa melihat sang mentari. Hawa dingin tetap setia menyelimuti. Di
tempat itu, kami rekatkan mata kami sejenak berharap mampu mengusir letih.
Dan
sungguh, Alam tidak akan menyiksa kita. Kabut yang semula setia menghiasi
sekeliling kami seperti ditiup OlehNya. Seketika terbelalak mata kami memandang
keajaiban alam yang sungguh luar biasa. Terlihat dari tempat kami merebahkan
tubuh, bukit-bukit dengan hamparan rumput indah. Langit biru bening dan mentari
yang sejenak menghangatkan tubuh kami. Luar biasa, entah kenapa setelah itu
tubuh kami terasa ringan kembali. Mungkin inilah kekuatan yang diberikanNya
untuk anak-anak yang ingin sungguh-sungguh belajar mengagungkanNya beserta
ciptaanNya.
Hari
mulai gelap dan kami baru sampai di pestan. Watu kotak terlihat dari tempat ini
(Semula terlihat dekat oleh mata kami). Sang leader segera memimpin kembali
rombongan untuk melanjutkan perjalanan.
Malam
mulai datang dan kami masih setia dengan langkah kaki kami. Hawa dingin tidak
enggan menyelimuti perjalanan kami. Rintik hingga derasnya hujan silih berganti
turun membasahi. Sekuat tenaga kami lawan semua itu dan selalu berharap untuk
segera sampai di watu kotak. Langkah terasa makin berat dan tubuh bagai diguyur
air es.
Sungguh
diluar dugaan. Track yang harus kami lalui untuk sampai di watu kotak begitu
terjal, mendaki dan sangat jauh. Tubuh terasa sangat lelah, kaki terasa amat
pegal, nafas terasa amat sesak, dingin semakin menusuk tulang, dan disinilah
terjadi sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.
Rombongan
kembali terbagi menjadi dua dan aku berada di rombongan paling belakang. Semula
terlihat baik dan seperti tidak akan terjadi apa-apa. Dengan sisa-sisa tenaga
kami berjuang melewati beratnya track dan terus melangkah berharap segera
sampai di watu kotak. Akan tetapi kenyataan berbicara lain. Adalah putri, teman
kami yang tiba-tiba langkahnya melemah. Mukanya terlihat memucat, tubuhnya
menggigil dan nafasnya tersengal. Spontan semua pandangan tertuju kepadanaya. Disaat
itulah, filosofi rantai bekerja secara spontan. Aku dan anand menggengam
tangannya dan terus menuntunnya berjalan menyusuri track yang ternyata semakin
sulit. Prajawan dari depan menggengap tanganku erat dan kami berjalan bak
rantai yang berikatan sangat erat.
Kondisi
putri semakin terlihat melemah ketika hujan bersama angin kencang datang.
Kakinya seperti sudah enggan untuk melangkah. Mukanya terlihat semakin pucat
dan badannya semakin menggigil. Hiphotermia pikirku. Kami yang ada
disekelilingnya benar-benar dibuat cemas dan ketakutan. Sungguh bingung bisa
apa kami ini untuk menolongnya ditempat itu. Tidak ada dokter, tidak ada rumah
sakit, tidak ada selimut tebal, tidak ada nyala api. Aku, anand dan teman
lainya yang ada di rombongan itu terus memberinya dukungan dan semangat. Disaat
kondisi seperti itu, putri masih bersikeras mempertahankan tas yang melekat di
punggungnya. Dia seperti tidak ingin merepotkan yang lain. Dia seperti ingin
sekali membawa tas itu sampai di tempat yang sama-sama kita impikan. Namun
akhirnya kami terpaksa melepaskannya ketika kondisi sahabat kami ini semakin
melemah. Aku dan anand sibuk memasangkan sarung tangan ke tangan putri. Prast
membawakan tas putri. Jarot membawa vio duluan ke watu kotak karena vio juga
terlihat melemah dan sangat riskan bila terus banyak berdiam mengikuti kami.
Anand tanpa pikir panjang segera melepas jaketnya dan membalutkannya ke tubuh
putri. Rombongan depan bergegas memasang tenda dan menyiapkan air panas. Semua
bergerak melakukan yang mereka bisa. Semua bekerja sistematis seperti sudah
lama dilatih untuk ini. Padahal ini semua terjadi secara spontan.
Kami
terus menuntun putri melangkahkan kaki menuju watu kotak. Ditengah hujan dan
hawa dingin itu, entah kenapa kaki kiriku tiba-tiba terasa sakit dan sangat
sulit untuk digerakkan. Aku seperti sudah sampai batas dan seperti ingin
menyerah. Tapi seketika itu aku alihkan pandangan kearah muka sahabatku putri,
melihat tekad kuat yang terpancar dari wajahnya entah kenapa kaki kiriku yang
semula sangat sakit tidak merasakan apa-apa. Aku seperti tidak memikirkan lagi
keadaan kakiku dan terus melangkahkannya. Yang ada dipikiranku saat itu
hanyalah bagaimana kami bisa membawa putri sampai ke tenda.
Syukur
setinggi-tingginya kami panjatkan kepada Sang pemberi kehidupan. Akhirnya kami
berhasil membawa putri sampai di watu kotak. Allah memang tidak akan memberikan
cobaan melebihi kemampuan hambaNya.
Malam
di watu kodok merupakan malam yang penuh dengan kebersamaan. Teman-teman cewek
sibuk menolong putri dan teman-teman lain yang kedinginan. Teman-teman cowok
sibuk memasak air hangat untuk semua. Hawa dingin malam itu seperti tidak mampu
menghancurkan kehangatan kebersamaan kami.
Setelah
sejenak rehat, kami memutuskan untuk sholat. Dalam sholat itu aku bersyukur
atas nikmat yang diberikanNya dalam perjalanan tadi. Sungguh perjalanan yang
mengajarkanku arti persaudaraan. Yang mengajarkan aku tentang arti kehidupan.
Setelah sholat pun kami tak langsung memejamkan mata. Walau tubuh sudah terasa
amat lelah, namun di dalam tenda itu, aku jarot udin prast dan rista berkumpul
sejenak membahas dan mencoba mengambil hikmah atas apa saja yang terjadi dalam
perjalanan tadi. Sungguh….semua ini bisa terjadi Karen kehendakNya. Dan
sungguh, alam tidak akan pernah menyiksa kita.
Pagi
itu cerah. Awan putih menghiasi gunung Sindoro yang terlihat jelas dari tempat
kami bertenda. Awan biru terang, sang mentari mulai muncul menghangatkan tubuh.
Pagi itu, kami berencana untuk meneruskan perjuangan menuju puncak. Semula kami
menargetkan sunrise, tapi melihat keadaan yang sungguh tidak memungkinkan
akhirnya kami hapus target itu demi keselamatan semua.
Di
pagi nan cerah itu kami disibukkan dengan acara masak-memasak. Masing-masing
dari kami saling bantu menyajikan sarapan. Putri sudah terlihat sehat pagi itu. Tentram aku
menatap wajahnya yang sekarang sudah tersenyum. Menu pagi itu adalah mie goreng
pakek sosis dan nasi kletis. Kami merasa cukup gagal menanak nasi pagi itu.
Tapi walau kletis juga nyatanya habis. Maklumlah…kami benar-benar lapar.
Setelah
sukses mengisi perut, kami kembali berkumpul, berdoa dan menyatukan tangan
sambil menggelorakan kata-kata penyemangat. Pertanda petualangan akan kembali
dimulai. Target pagi itu adalah puncak. Menurut orang-orang, dibutuhkan waktu
sekitar 1 jam untuk sampai puncak dari tempat kami bermalam itu. Namun kami tak
menghiraukannya karena takut di PHPin lagi.hehe
Langkah
demi langkah kembali kami ayunkan. Puncak setia tergantung 5 cm di depan mata
kami. Perjalanan menuju puncak memang sangat menanjak dan cukup penuh bebatuan
terjal. Tapi semua itu kami lalui dengan senyum dan rasa percaya diri. Kami
sudah menggantungkannya, dan kami yakin kami bisa mencapainya.
Sepanjang
jalan menuju puncak banyak keindahan tersaji. Banyak hidup bunga edelweiss yang
sayangnya saat itu belum berbunga. Dan yang paling indah ketika di tengah jalan
kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Hamparan keindahan menyita mata kami
yang semakin menyadarkan kami akan indahnya negeri ini. Tak hayal dalam
perjalan itu kami sering meriakkan nama ibu pertiwi.
Hampir
1 jam kami melangkahkan kaki dan akhirnya, puncak begitu dekat. Teman-teman
yang sudah duluan sampai puncak berteriak-terika memberi semangat kepada kami
yang dibelakang. Mendengar teriakan itu semangat kami terpacu. Kami pun berlari
mendaki bebatuan hingga akhirnya impian itu terjawab. Dengan nafas yang masih
terengah-engah, sampailah kami di titik tertinggi Sumbing (Baca:3371 mdpl).
Syukur aku panjatkan kepadaNya atas karunia yang diberikan hingga akhirnya
impian itu tercapai. Sungguh bangga kami berada di tempat ini memandang luasnya
langit. Kami berdiri diatas awan. Kami ada di negeri atas awan. Ditempat itu,
kami menjadi saksi nyata keindahan ibu pertiwi. Tempat yang banyak mengajarkan
kami nilai kehidupan. Tempat yang semakin membuat kami cinta dengan tanah ini.
Tempat yang semakin membuat tekad kami menguat untuk menjaga negeri ini.
Ditempat
itu, kami kibarkan sang saka sebagai tanda rasa cinta kami terhadap bangsa ini.
Ya Rab….inilah kami para generasi penerus bangsa ini. Inilah wajah-wajah kami,
pemuda yang sangat mencintai negeri indah ini. Berilah kami tekad kuat untuk
menjaga bangsa ini. Berikanlah kami kesetiaan untuk selalu mengharumkan nama
bangsa ini. Ijinkanlah kami kelak menjadi pemimpin bangsa yang mampu membawa
bangsa ini menjadi bangsa yang tinggi, setinggi negeri di atas awan.
Itulah
petualangan kami mencapai puncak Sumbing (Baca:3371 mdpl). 7.000 meter adalah
jarak tempuh yang kami lalui dari base camp hingga sampai di puncak. 14.000
adalah langkah kaki yang masing-masing kami ayunkan dari base camp hingga
sampai di puncak. Dan semua kami lalui untuk mencapai satu mimpi, yakni PUNCAK
SUMBING (Baca:3371mdpl).
Perjalanan
pulang ke basecamp bukanlah mudah. Kembali banyak hal kami jumpai yang membuat
kami semakin kuat. Bahkan kami sampai di basecamp jam 11 malam lebih. Walau
begitu melelahkan, kami pulang dengan bangga. Kami pulang dengan kenangan. Dan
kami pulang dengan segudang pelajaran. Gunung Sumbing, menjadi saksi indahnya persahabatan.
Sekali lagi, cinta telah membuktikan kekuatannya. J
End.
0 komentar:
Posting Komentar