7.000 m, 14.000 langkah, Satu mimpi

Jumat, 28 Desember 2012


Hari itu aku masih disibukkan dengan Sidang Umum HIMABIO yang telah memasuki hari kedua. Yah...akhirnya aku di demisioner juga dari organisasi yang telah berjasa membesarkanku sampai aku jadi seperti ini. Malam sebelum hari itu adalah malam yang cukup berat bagiku karena aku harus menyaksikan pemberhentian jabatanku dari pengurus HIMABIO. Dua tahun yang begitu cepat berlalu. Terlebih sedih lagi ketika anak-anaku di Humas HIMABIO malam itu serentak menghampiriku dan menundukkan kepala dihadapanku. Malam yang penuh air mata. Malam dimana aku merasa seperti sangat kehilangan.

Sebelumnya aku mendengar kabar bahwa BSO Arwana akan mengadakan pendakian gunung Sumbing yang terletak di jawa tengah. Banyak dari teman-teman yang berencana ikut serta dalam agenda itu. Wah….gunung sumbing. Salah satu gunung yang menjadi mimpiku. Kebetulan sekali, aku pun tidak menyia-nyiakan kesempatan emas untuk mencoret salah satu mimpiku itu. Tidak berfikir panjang lagi, segera aku putuskan untuk ikut serta dalam pendakian itu.  

Minggu, 23 Desember 2012 cerita itu bermula. Pengalaman hidup yang tak akan pernah aku lupakan.

Sore setelah Sidang Umum yang cukup melelahkan itu selesai, kami janjian untuk berkumpul di dekanat selatan gedung FMIPA UNY. Aku dengan niat dan segala perlengkapanku pergi menuju tempat itu dengan rasa pasti. Segera setelah aku sampai ditempat itu, aku jumpai muka-muka yang penuh ceria dan percaya diri telah cukup lama menanti kedatanganku. Canda, tawa, kehangatan dan kebersamaan dimulai disini. Orang-orang hebat yang ternyata akan mengajariku tentang banyak arti hidup dalam petualangan itu.

Setelah cukup lama menanti, akhirnya lengkap sudah para petualang yang akan ikut serta dalam rombongan. Total semuanya ada 16 orang (Vio menunggu di Magelang). Jumlah yang cukup banyak untuk ukuran pendakian gunung. Aku, Anand, Aziz, mas Ulul, Adit, Udin, Jarot, Prast, Prajawan, Rista, Rizqa, Fanny, Putri, Vio, Karina, dan yang termuda Nrangwesti adalah para petualang yang akan menjadi tokoh-tokoh hebat dalam kisah petualangan ini.

16 tangan menjadi satu. Keberangkatan kami diawali dengan berdoa dan menyatukan tangan kami serta menyorakkan jargon berisi kata-kata semangat. Bersiaplah kami dikuda-kuda pejuang kami (baca:motor) dan segera memulai perjalanan menuju Wonosobo.

Perjalanan menuju Wonosobo bukanlah perjalanan yang mudah. Sepanjang perjalanan itu kami dibubuhi hujan lebat. Tidak jarang juga kami terjebak dalam kemacetan. Hawa dingin dank abut tak luput menghiasi perjalanan panjang itu. Walau cukup melelahkan, tapi kami tetap bersemangat. Hampir 3 jam perjalanan melewati kota Magelang dan Temanggung, sampailah juga kami di kota tujuan. “Wonosobo”.

Malam itu terasa amat dingin. Perut seperti telah enggan menahan rasa lapar dan berontak minta diisi. Perjalanan panjang dari Jogja-Wonosobo memang cukup menguras tenaga kami. Tak hayal, setelah kami sampai di base camp pendakian gunung Sumbing tanpa basa-basi kami langsung memesan makanan. Nasi goreng, nasi telur dan minumam jahe hangat menjadi pilihan kami malam itu. Sembari menanti pesanan kami datang, kami menuju masjid yang tidak jauh dari base camp untuk menunaikan ibadah shalat isya. Air…air….air….nya dingin sekali. Ketika berwudhu, rasanya seperti diguyur air es..mak nyess…Ketika buang air kecil..rasanya jadi mengkerut..loh..apanya yang mengkerut?haha

Yah…setelah lama menunggu, pesanan makanan kami datang juga. Tanpa diminta lagi kami langsung melahap sajian malam itu. Nasi goreng yang terasa sangat lezat. Wedang jahe yang sangat joss gandos. Sungguh sangat spesial sajian malam itu, tapi aku yakin bukanlah karena enaknya masakan makanan itu yang membuat nikmatnya makanan itu di lidahku, akan tetapi karena malam itu aku makan bersama dengan sosok-sosok yang luar biasa (Baca:sahabat).

Aziz sang leader petualangan kali ini segera bangkit setelah kami semua selesai menyantap makan malam. Dia menghimbau semuanya untuk segera tidur. Kami pun serentak mengeluarkan SB masing-masing dan segera menempatkan diri untuk tidur. Kami memang harus pandai-pandai menghemat energi, karena petualangan sesungguhnya baru akan di mulai esok hari. Yah….Pendakian gunung Sumbing.

Datangnya pagi perlahan membuka mata kami. Hawa dingin pagi itu sedikit memanjakan mata kami dan membuatnya sulit untuk terbuka. Walau begitu, kami segera membuka mata kami lebar-lebar karena pagi itu petualanagn hebat akan dimulai.

Dimulai dengan shalat subuh berjamaah, sarapan pagi dan me-repack barang bawaan kami lakukan semuanya dengan penuh antusias. Terdengar suara sang leader yang meminta seluruh personil untuk berkumpul di halaman depan base camp pertanda bahwa perjalanan akan segera dimulai. Mas ulul sang senior meminta semuanya untuk pemanasan dan melemaskan otot-otot. Hal ini amatlah penting untuk mengawali kegiatan-kegiatan yang menggunakan otot dan pikiran seperti salah satunya pendakian gunung.

Lanjut setelah selesai memimpin pemanasan, Mas Ulul segera membuka bicara dan memimpin teman-teman semua untuk berdoa yang selanjutnya diikuti dengan menyatukan tangan dan menggelorakan kata-kata semangat bersama. Ya….selalu kami awali cerita ini dengan berdoa dan menyatukan semangat.

Tibalah saat kaki harus setia melangkah, mengikuti impian yang telah kami gantungkan 5 cm di depan mata kami. PUNCAK SUMBING (Baca: 3371 Mdpl).

Sekitar 8 Jam, adalah waktu yang harus kami tempuh untuk dapat mencapai puncak sumbing(kata petugas base camp sumbing). Langkah pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh……terus dengan tekat kuat dan percaya diri kami ayunkan kaki kami masing-masing menyusuri jalur-jalur pendakian. Senda gurau, tawa, ceria, selalu menghiasi langkah demi langkah. Sumbing sudah menyajikan keindahan semenjak langkah pertama kaki kami. Terlihat dari arah belakang gunung Sindoro tinggi menjulang, kanan kiri jalur pendakian dihiasi dengan desa-desa yang kemudian berganti ladang-ladang petani yang tertata rapi, dan selanjutnya berganti lagi menjadi hutan yang penuh pepohonan. Semakin lama kaki ini melangkah semakin terasa lelah coba menghinggapi. Track pendakian yang selalu menanjak memang tantangan yang harus kami hadapi dalam petualangan ini.

Satu jam, dua jam, tiga jam, kami melangkahkan kaki menyusuri track yang selalu mendaki. Tak mau memaksakan diri, setiap ada teman yang kelelahan selalu kami selingi langkah kaki kami dengan beristirahat. Walau hanya sebentar waktu untuk beristirahat, namun waktu yang sebentar itu cukup bagi kami untuk menghela nafas dan mengusir sejenak rasa lelah.

Hah….setelah hampir 3 jam melangkahkan kaki, sampailah juga kami di post 1. Post ini terletak setelah perbatasan antara ladang petani dengan hutan. Dekat dengan post ini kami temui sungai kecil yang airnya begitu bening dan segar. Begitu beruntungnya kami menemukan sumber mata air ini karena persediaan air memang butuh untuk diisi. Sebuah isyarat bahwa alam tidak akan menyiksa kita. Sebuah isyarat bahwa Allah menciptakan alam ini dengan segala pertimbanganNya. Sungguh tatanan alam yang rapih dan sistematis. Tidaklah pantas disebut sebagai kebetulan semata.

Setelah cukup beristirahat, kami putuskan untuk melanjutkan langkah kaki kami. Selanjutnya kami akan berjalan menuju post 2. Kami lihat dipeta yang diberikan oleh pengurus base camp, terlihat jarak antara post 1 dan post 2 tidaklah begitu jauh (entah skala apa yang digunakan). Dengan semangat kami pun kembali melangkahkan kaki memulai perjalanan menuju post 2.

Akan tetapi kenyataan yang ada berbeda telak dengan apa yang tergambar di dalam peta. Jarak yang kami tempuh untuk sampai di post 2 ternyata cukuplah jauh. Hampir 3 jam kami melangkahkan kaki untuk sampai di post ini. Jam 13.00 WIB dengan nafas yang cukup tersengal sampailah kami di post 2. Rasa lapar mulai datang, kami tak punya cukup waktu untuk memasak di post ini. Hanya roti dan cemilan seadanya kami lahap untuk sekadar mengganjal perut kami yang keroncongan. Di post ini, kami putuskan untuk melakukan ibadah shalat. Memang tidak ada sumber air disini. Tetapi Allah lewat alamnya memang tidak pernah mau menyiksa makhlukNya. Disekitar post ini banyak tumbuh rerumputan dan perdu yang mengandung cukup air untuk kami bertayamum. Dengan khitmat kami lakukan ibadah shalat siang itu di tengah hamparan keindahan alamNya.

Setelah beristirahat, menyantap roti dan shalat, segera kami bersiap melanjutkan perjalanan itu. Sang leader memutuskan bahwasanya kami akan menginap di post watu kotak (semula terbayang dekat). Dengan rasa pasti kami kembali memulai langkah kaki kami menuju watu kotak. Kami tidak menyangka sebelumnya, perjalanan kami menuju watu kotak ini akan menjadi perjalanan yang tidak akan kami lupakan seumur hidup(Baca:pelajaran hidup).

Ditengah petualangan inipun, Sang Pencipta tetap mengingatkan kami akanNya. Ditengah perjalanan ketika kami hendak beristirahat, kami menjumpai papan bertuliskan in memoriam. Sejenak kepala kami menunduk mengucapkan syukur. Sungguh ya Rab…hidup ini memang KuasaMu. Jikalau Kau kehendaki, disaat itupun bisa saja dengan mudah Kau ambil nyawa kami. Tapi Engkau sungguh Maha mengetahui seluruh isi hati.

Sekitar jam 5 sore itu sampailah kami di post pestan, pertemuan antara jalur lama dan jalur baru pendakian gunung Sumbing. Tanpa sadar, rombongan kami terbagi menjadi 2. Kami yang duluan sampai di pestan memutuskan untuk menunggu teman-teman kami yang tertinggal cukup jauh di belakang. Sembari menunggu, kami hempaskan tubuh kami di tanah berumput. Lelah, lemas, pegal-pegal mulai terasa menghantui badan kami. Langit tertutup oleh hamparan kabut putih tebal membuat kami tak bisa melihat sang mentari. Hawa dingin tetap setia menyelimuti. Di tempat itu, kami rekatkan mata kami sejenak berharap mampu mengusir letih.

Dan sungguh, Alam tidak akan menyiksa kita. Kabut yang semula setia menghiasi sekeliling kami seperti ditiup OlehNya. Seketika terbelalak mata kami memandang keajaiban alam yang sungguh luar biasa. Terlihat dari tempat kami merebahkan tubuh, bukit-bukit dengan hamparan rumput indah. Langit biru bening dan mentari yang sejenak menghangatkan tubuh kami. Luar biasa, entah kenapa setelah itu tubuh kami terasa ringan kembali. Mungkin inilah kekuatan yang diberikanNya untuk anak-anak yang ingin sungguh-sungguh belajar mengagungkanNya beserta ciptaanNya.

Hari mulai gelap dan kami baru sampai di pestan. Watu kotak terlihat dari tempat ini (Semula terlihat dekat oleh mata kami). Sang leader segera memimpin kembali rombongan untuk melanjutkan perjalanan.
Malam mulai datang dan kami masih setia dengan langkah kaki kami. Hawa dingin tidak enggan menyelimuti perjalanan kami. Rintik hingga derasnya hujan silih berganti turun membasahi. Sekuat tenaga kami lawan semua itu dan selalu berharap untuk segera sampai di watu kotak. Langkah terasa makin berat dan tubuh bagai diguyur air es.

Sungguh diluar dugaan. Track yang harus kami lalui untuk sampai di watu kotak begitu terjal, mendaki dan sangat jauh. Tubuh terasa sangat lelah, kaki terasa amat pegal, nafas terasa amat sesak, dingin semakin menusuk tulang, dan disinilah terjadi sesuatu yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Rombongan kembali terbagi menjadi dua dan aku berada di rombongan paling belakang. Semula terlihat baik dan seperti tidak akan terjadi apa-apa. Dengan sisa-sisa tenaga kami berjuang melewati beratnya track dan terus melangkah berharap segera sampai di watu kotak. Akan tetapi kenyataan berbicara lain. Adalah putri, teman kami yang tiba-tiba langkahnya melemah. Mukanya terlihat memucat, tubuhnya menggigil dan nafasnya tersengal. Spontan semua pandangan tertuju kepadanaya. Disaat itulah, filosofi rantai bekerja secara spontan. Aku dan anand menggengam tangannya dan terus menuntunnya berjalan menyusuri track yang ternyata semakin sulit. Prajawan dari depan menggengap tanganku erat dan kami berjalan bak rantai yang berikatan sangat erat.

Kondisi putri semakin terlihat melemah ketika hujan bersama angin kencang datang. Kakinya seperti sudah enggan untuk melangkah. Mukanya terlihat semakin pucat dan badannya semakin menggigil. Hiphotermia pikirku. Kami yang ada disekelilingnya benar-benar dibuat cemas dan ketakutan. Sungguh bingung bisa apa kami ini untuk menolongnya ditempat itu. Tidak ada dokter, tidak ada rumah sakit, tidak ada selimut tebal, tidak ada nyala api. Aku, anand dan teman lainya yang ada di rombongan itu terus memberinya dukungan dan semangat. Disaat kondisi seperti itu, putri masih bersikeras mempertahankan tas yang melekat di punggungnya. Dia seperti tidak ingin merepotkan yang lain. Dia seperti ingin sekali membawa tas itu sampai di tempat yang sama-sama kita impikan. Namun akhirnya kami terpaksa melepaskannya ketika kondisi sahabat kami ini semakin melemah. Aku dan anand sibuk memasangkan sarung tangan ke tangan putri. Prast membawakan tas putri. Jarot membawa vio duluan ke watu kotak karena vio juga terlihat melemah dan sangat riskan bila terus banyak berdiam mengikuti kami. Anand tanpa pikir panjang segera melepas jaketnya dan membalutkannya ke tubuh putri. Rombongan depan bergegas memasang tenda dan menyiapkan air panas. Semua bergerak melakukan yang mereka bisa. Semua bekerja sistematis seperti sudah lama dilatih untuk ini. Padahal ini semua terjadi secara spontan.

Kami terus menuntun putri melangkahkan kaki menuju watu kotak. Ditengah hujan dan hawa dingin itu, entah kenapa kaki kiriku tiba-tiba terasa sakit dan sangat sulit untuk digerakkan. Aku seperti sudah sampai batas dan seperti ingin menyerah. Tapi seketika itu aku alihkan pandangan kearah muka sahabatku putri, melihat tekad kuat yang terpancar dari wajahnya entah kenapa kaki kiriku yang semula sangat sakit tidak merasakan apa-apa. Aku seperti tidak memikirkan lagi keadaan kakiku dan terus melangkahkannya. Yang ada dipikiranku saat itu hanyalah bagaimana kami bisa membawa putri sampai ke tenda.

Syukur setinggi-tingginya kami panjatkan kepada Sang pemberi kehidupan. Akhirnya kami berhasil membawa putri sampai di watu kotak. Allah memang tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambaNya.

Malam di watu kodok merupakan malam yang penuh dengan kebersamaan. Teman-teman cewek sibuk menolong putri dan teman-teman lain yang kedinginan. Teman-teman cowok sibuk memasak air hangat untuk semua. Hawa dingin malam itu seperti tidak mampu menghancurkan kehangatan kebersamaan kami.

Setelah sejenak rehat, kami memutuskan untuk sholat. Dalam sholat itu aku bersyukur atas nikmat yang diberikanNya dalam perjalanan tadi. Sungguh perjalanan yang mengajarkanku arti persaudaraan. Yang mengajarkan aku tentang arti kehidupan. Setelah sholat pun kami tak langsung memejamkan mata. Walau tubuh sudah terasa amat lelah, namun di dalam tenda itu, aku jarot udin prast dan rista berkumpul sejenak membahas dan mencoba mengambil hikmah atas apa saja yang terjadi dalam perjalanan tadi. Sungguh….semua ini bisa terjadi Karen kehendakNya. Dan sungguh, alam tidak akan pernah menyiksa kita.

Pagi itu cerah. Awan putih menghiasi gunung Sindoro yang terlihat jelas dari tempat kami bertenda. Awan biru terang, sang mentari mulai muncul menghangatkan tubuh. Pagi itu, kami berencana untuk meneruskan perjuangan menuju puncak. Semula kami menargetkan sunrise, tapi melihat keadaan yang sungguh tidak memungkinkan akhirnya kami hapus target itu demi keselamatan semua.

Di pagi nan cerah itu kami disibukkan dengan acara masak-memasak. Masing-masing dari kami saling bantu menyajikan sarapan. Putri  sudah terlihat sehat pagi itu. Tentram aku menatap wajahnya yang sekarang sudah tersenyum. Menu pagi itu adalah mie goreng pakek sosis dan nasi kletis. Kami merasa cukup gagal menanak nasi pagi itu. Tapi walau kletis juga nyatanya habis. Maklumlah…kami benar-benar lapar.

Setelah sukses mengisi perut, kami kembali berkumpul, berdoa dan menyatukan tangan sambil menggelorakan kata-kata penyemangat. Pertanda petualangan akan kembali dimulai. Target pagi itu adalah puncak. Menurut orang-orang, dibutuhkan waktu sekitar 1 jam untuk sampai puncak dari tempat kami bermalam itu. Namun kami tak menghiraukannya karena takut di PHPin lagi.hehe

Langkah demi langkah kembali kami ayunkan. Puncak setia tergantung 5 cm di depan mata kami. Perjalanan menuju puncak memang sangat menanjak dan cukup penuh bebatuan terjal. Tapi semua itu kami lalui dengan senyum dan rasa percaya diri. Kami sudah menggantungkannya, dan kami yakin kami bisa mencapainya.

Sepanjang jalan menuju puncak banyak keindahan tersaji. Banyak hidup bunga edelweiss yang sayangnya saat itu belum berbunga. Dan yang paling indah ketika di tengah jalan kami disuguhi pemandangan yang luar biasa. Hamparan keindahan menyita mata kami yang semakin menyadarkan kami akan indahnya negeri ini. Tak hayal dalam perjalan itu kami sering meriakkan nama ibu pertiwi.

Hampir 1 jam kami melangkahkan kaki dan akhirnya, puncak begitu dekat. Teman-teman yang sudah duluan sampai puncak berteriak-terika memberi semangat kepada kami yang dibelakang. Mendengar teriakan itu semangat kami terpacu. Kami pun berlari mendaki bebatuan hingga akhirnya impian itu terjawab. Dengan nafas yang masih terengah-engah, sampailah kami di titik tertinggi Sumbing (Baca:3371 mdpl). Syukur aku panjatkan kepadaNya atas karunia yang diberikan hingga akhirnya impian itu tercapai. Sungguh bangga kami berada di tempat ini memandang luasnya langit. Kami berdiri diatas awan. Kami ada di negeri atas awan. Ditempat itu, kami menjadi saksi nyata keindahan ibu pertiwi. Tempat yang banyak mengajarkan kami nilai kehidupan. Tempat yang semakin membuat kami cinta dengan tanah ini. Tempat yang semakin membuat tekad kami menguat untuk menjaga negeri ini.


Ditempat itu, kami kibarkan sang saka sebagai tanda rasa cinta kami terhadap bangsa ini. Ya Rab….inilah kami para generasi penerus bangsa ini. Inilah wajah-wajah kami, pemuda yang sangat mencintai negeri indah ini. Berilah kami tekad kuat untuk menjaga bangsa ini. Berikanlah kami kesetiaan untuk selalu mengharumkan nama bangsa ini. Ijinkanlah kami kelak menjadi pemimpin bangsa yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang tinggi, setinggi negeri di atas awan.

Itulah petualangan kami mencapai puncak Sumbing (Baca:3371 mdpl). 7.000 meter adalah jarak tempuh yang kami lalui dari base camp hingga sampai di puncak. 14.000 adalah langkah kaki yang masing-masing kami ayunkan dari base camp hingga sampai di puncak. Dan semua kami lalui untuk mencapai satu mimpi, yakni PUNCAK SUMBING (Baca:3371mdpl).

Perjalanan pulang ke basecamp bukanlah mudah. Kembali banyak hal kami jumpai yang membuat kami semakin kuat. Bahkan kami sampai di basecamp jam 11 malam lebih. Walau begitu melelahkan, kami pulang dengan bangga. Kami pulang dengan kenangan. Dan kami pulang dengan segudang pelajaran. Gunung Sumbing, menjadi saksi indahnya persahabatan. Sekali lagi, cinta telah membuktikan kekuatannya. J End.



  


  

0 komentar:

Posting Komentar

Flowers

Flowers
The beauty Arachnis

Serangga galau

Serangga galau
The Romantic Insect

Amblyphigi

Amblyphigi
Salah satu biota penghuni ekosistem Gua
 

Browse