Nekad
enggak..nekad enggak..berangkat enggak..berangkat enggak..berani enggak..berani
enggak…Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tiada henti menghiasi waktu-waktuku
pada hari-hari itu. Setelah hari datangnya kabar menggembirakan pada tanggal 15
November 2012 itu sontak hari-hariku berubah drastis penuh dilemma dan
kegalauan.
Pagi
itu aku buka email dengan rasa penuh harap. Setalah hampir sebulan penuh
menanti akhirnya tiba pula hari dimana notification of acceptance diumumkan.
Adalah pesan email dari committee of AASIC (ASEAN Academic Society
International Conference) yang ku tunggu. Ya..sebulan lalu aku dengan rasa
iseng mengirimkan paperku ke panitia konferensi itu untuk turut serta dalam
proses seleksi.
Di
pagi yang sendu itu mataku terbelalak membaca pesan email yang kuterima.
Ya..Paperku diterima untuk dipresentasikan di konferensi Internasional itu.
Sungguh keberuntungan yang sepertinya aku terima melihat paper yang kubuat itu adalah
paper pertamaku dan itu adalah rekaman hasil penelitian pertamaku pula. Cukup
kaget aku membaca invitation letter yang dikirim panitia konferensi.
Kalimat-kaliamat yang begitu membuatku penuh harap. “And we invite you to come to Thailand in order to presenting your paper
in the conference. We glad to see you in Hat Yai.” Rasa bahagia bercampur
bangga berhamburan didalam hati ini pagi itu. Akhirnya satu mimpi besarku dari
kecil akan terwujud, batinku berteriak.
Namun
kebahagiaan itu sempat hilang begitu saja bak ditelan bumi ketika aku mendengar
kabar bahwa di akhir tahun sudah sangat sulit mencari bantuan dana dari kampus,
apalagi untuk kegiatan Internasional yang pasti menghabiskan banyak dana. Dan
ternyata memanglah benar, kesana kemari aku mencari informasi bantuan dana akan
tetapi tak satupun yang memberi kabar indah. Sempat rasa kekecewaan dan putus
asa hinggap dan begitu menyayat hati.
Namun
Dia sepertinya mendengar doa-doaku. Disaat sepertinya sudah tidak mungkin lagi
aku berangkat, datanglah beliau Ibu Tiwi salah salah satu Dosenku bak malaikat
pembawa kabar gembira. Beliau memberiku bimbingan dan begitu banyak nasihat.
Beliau berjanji akan membantuku sampai titik darah terakhir agar aku bisa
berangkat. Beliau memberiku support untuk tidak menyerah dan terus berusaha.
Mendengar pernyataan itu, harapan yang sempat sirna seperti bercahaya kembali.
Muncul rasa semangat baru menggetarkan tubuhku untuk kembali berjuang.
Seminggu
telah berlalu dan hari terakhir pembayaran biaya konferensi semakin mendekat.
Belum juga aku mampu mengumpulkan dana untuk membayar konferensi. Adalah 1 juta
nominal yang harus aku kumpulkan setidaknya dalam 2 hari tersisa untuk dapat
membayar. Yah...doa dan usaha terus aku lakukan dan selalu berharap ada
keajaiban.
Malam
itu, 2 hari sebelum deadline pembayaran. HPku bergetar. Saat itu aku benar
nampak lemas dan pasrah dengan apa yang ada. Aku sudah berusaha dan belum juga
ada yang membantu. Satu pesan datang dari bu Tiwi Dosenku. Langsung aku baca
sms dari bu Tiwi itu dengan rasa penuh harap, “nak..kamu selesaikan proposalmu
ya..besok kita ke KI..Mungkin mereka masih mau membantu.” Bergegas aku
selesaikan proposalku malam itu.
Pagi
itu aku, temanku yang juga bernasib sama denganku ditemani Bu Tiwi mendatangi
Kantor Internasional UNY. Ya…itulah untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki
di KI. Gugup aku setalah memasuki ruang itu. Bu Tiwi membawa kami menghadap
kepala KI. Dag..dig…dug…aku mendengar perbincangan Bu Tiwi dengan Kepala KI.
Setalah bertanya-tanya dan melihat-lihat proposal akhirnya Bapak itu bersedia
membantu. Akan tetapi mereka hanya bersedia membantu sebagian. Rasa syukur aku
panjatkan mendengar kabar indah itu. Proposalku di ACC dan itu pertanda mereka
sah akan membantu.
Setalah
itu aku mulai berfikir dan menimbang-nimbang. Dengan semangat aku mulai
searching-searching harga tiket pesawat ke Hat Yai. Mulai ke bandara, searching
internet, ke tempat-tempat penjualan tiket aku datangi. Namun inilah
hidup…ujian datang memang tidak menunggu undangan. Harga tiket ke Hat Yai
ternyata cukup mahal. Dengan seluruh uang bantuan dari KI saja tiket tak akan
terbeli. Padahal aku belum membayar biaya konferensinya dan belum memikirkan
biaya hidupku selama di sana nanti. Kembali rasa kecewa menghantam hati membawa
rasa patah semangat.
Pagi
itu, hari deadline pembayaran konferensi aku menemui bu Tiwi. Dan aku bercerita
semuanya ke Beliau. Namun Beliau tidak patah arang, beliau tetap akan berusaha
supaya aku bisa berangkat. Beliau memberikabar jikalau ada celah dari Jurusan
untuk aku dapat bantuan dana. Dan Beliau akan membantu untuk itu. Beliau
memintaku melobi Dosen agar aku bisa menggunakan anggaran dana seminar Dosen.
Syaratnya aku harus mendekati dan meyakinkan dosen hingga mereka mau membantu.
Itu bukanlah hal mudah. Tapi melihat pancaran mata Bu Tiwi aku pun meyakinkan
hatiku untuk kembali berusaha.
Setelah
mendengar nasehat tadi, aku berfikir kembali. Rasa keinginan jelas masih
melekat dalam hatiku. Setelah sampai di kamar kost, aku pun membuka laptopku.
Email kembali ku buka. Aku berniat memohon toleransi waktu untuk deadline pembayaran.
Tanpa malu aku menjelaskan semuanya ke pihak panitia. Setalah melalui diskusi
yang cukup panjang melalui pesan email, akhirnya mereka mau mengerti dan
memberiku tambahan waktu 1 minggu untuk dapat membayar biaya itu. Yah..kembali
muncul sedikit harapan besar. Dengan waktu itu aku mungkin bisa mencari
kepastian dari pihak Jurusan, apakah mereka bisa membantu atau tidak.
Aku
terus berusaha meyakinkan dan mencari kepastian dari pihak Jurusan. Namun hari
itu kembali aku harus mendengar kabar buruk. Dosen yang semula bersedia
membantu justru mengundurkan diri dan itu pertanda bahwa aku akan gagal
mendapatkan bantuan dana. Yah...Melihat waktu toleransiku sudah hampir habis,
aku kembali berfikir dan mempertimbangkan segala hal. Ya..Setalah aku berfikir,
saat itu aku putuskan untuk mengundurkan diri dan tidak jadi berangkat. Walau
rasa kecewa dan sakit jelas membelenggu namun aku putuskan. Pertimbanganku
sangatlah banyak, dana kurang banyak, aku belum beli tiket pesawat, aku pun
belum membuat passport yang kabarnya akan memakan waktu lebih dari 1 minggu
padahal seandainya jadi berangkat aku harus punya no.pasport untuk dapat
memesan pesawat. Aku pun harus berangkat 10 hari setelah hari itu. Semua alasan
itu yang akhirnya membuatku mengambil keputusan yang amat sakit. Aku pun
mendatangi bu Tiwi dengan pasrah dan menceritakan semuanya.
Walau
telah memutuskan. Malam itu aku kembali memohon petunjuk. Esok adalah hari
terakhir dimana aku harus membayar biaya konferensi. Allah memang akan memberi
apa yang kita butuhkan. Pagi itu ada panggilan dari Jurusan. Dengan gugup aku
langkahkan kakiku menuju ruang itu. Alhamdulilah….. Entah anugrah apa yang
diberikanNya, akhirnya dari pihak Jurusan pun bersedia memberiku bantuan.
Kembali harapan itu melambung tinggi. Setelah mendengar itu akupun menemui
kembali Bu Tiwi dan mencerikan semuanya.
Ya…sekarang tinggal gimana aku selanjutnya.
Apakah mau nekad atau tidak. Uang yang terkumpul hanya cukup untuk biaya
registrasi dan pesawat. Itupun sebenarnya masih kurang banyak. Belum aku harus
berfikir biaya untuk beli tiket kereta ke Jakarta, biaya buat passport dan yang
terpenting biaya hidupku selama disana. Aku coba hubungi orangtuaku dan menceritakan
semuanya. Alhamdulilah…senyum selanjutnya datang..dari sms yang kuterima,
sepertinya mereka bersedia memberiku uang jajan yang aku pikir itu cukuplah
untuk makan selama aku disana.
Setalah
itulah aku membuat suatu perjudian besar. Dengan rasa yakin aku membayarkan
uang sebesar 1 juta untuk biaya registrasi. Aku berjudi atas ini. Walau aku
belum membuat pasport belum juga booking pesawat dan belum membeli tiket
kereta, dan belum tentu juga aku bisa berangkat, tapi aku beranikan diri
membayarkannya. Pembayaran itupun tidak semudah yang ku kira. Aku harus
mentransfer ke Thailand dan biaya transfer ternyata amat mahal. Sungguh uangku
saat itu tidak cukup untuk membayar biaya transfer itu. Rasa sesal kembali
hinggap dan hari itu aku benar-benar pasrah. Hari itu adalah deadline toleransi
waktu yang diberikan panitia untukku membayar biaya konferensi. Tapi aku gagal
membayarkannya saat itu.
Pulanglah
aku dengan tubuh lemas dan hati penuh kecewa. Setelah beristirahat sejenak.
Kembali aku membuka laptop. Ku buka emailku dan aku kirim permohonan maafku
kepada pihak panitia karena disaat hari terakhir itupun aku tetap tidak bisa
membayarnya. Kembali tanpa malu aku jelaskan kepada mereka mengenai apa yang
sebenarnya terjadi. Dan sepertinya mereka memaklumi itu. Lama malam itu aku
berdiskusi dengan mereka via email hingga cukup larut. Hingga ternyata pesan
terakhir dari mereka menjelaskan bahwa aku kembali diberi toleransi waktu 1
hari, ditambah aku bisa membayarnya ke no.rekening salah satu panitia di
Indonesia. Itu artinya aku tidak perlu lagi membayar biaya transfer ke Thailand
yang mahal itu. Subhanallah…keajaiban itu kembali datang. Membaca itu mataku terbelalak dan mengucap
syukur. Harapan kembali bercahaya membelah awan redup yang sejak sore tadi
membelengguku.
Hari
itu akhirnya aku benar-benar melakukan perjudianku itu. Dengan yakin aku
transfer uangku. Setelah mengalami kesulitan dalam mentransfer, akhirnya aku
berhasil membayar biaya konferensi berkat bantuan dua temanku Amel dan Ervi.
Mereka membantuku malam itu mentransfer biaya melalui ATMnya. Perjudian telah
selesai dan selanjutnya tinggal memikirkan passport, pesawat, dan kereta. Jikalau aku gagal menyelesaikan semuanya, aku
bakal kehilangan uang sebesar 1 jt dengan sia-sia.
Perjuangan
kembali ku kobarkan setalah perjudianku itu. Pembuatan passport adalah hal yang
cukup membuat jantungku dag-dig dug. Yang benar saja, pasportku harus jadi
dalam waktu seminggu jikalau aku ingin berangkat. Sempat rasanya ingin menangis
ketika ku datangi kantor imigrasi. Ya Rab…apakah mungkin bisa jikalau seperti
ini. Saat itu kantor imigrasi penuh sesak dan loket pendaftaran pembuatan passport
antri cukup panjang. Dan aku mendapatkan no antrian belakang. Hari itu aku
terpaksa membolos kuliah untuk membuat passport. Walau dengan rasa sedikit pesimis,
aku berdoa dengan penuh harap disaat ku dalam antrian itu. “Ya Rabb…Jikalau Kau
ijinkan, berilah hambamu kembali keajaiban.” Doaku dalam hati.
Satu
persatu antrian didepanku berkurang dan setalah menunggu cukup lama tibalah
giliranku. Ya…akhirnya nomor antrianku dipanggil. Aku langkahkan kaki dengan
perasaan gugup. Di loket itu, bapak-bapak menyodrokan tangan meminta
persyaratan yang dibutuhkan untuk pembuatan passport. Aku pun segera
menyerahkannya. “Hari Rabu kesini lagi ya mas untuk wawancara dan foto.” Beliau
berkata padaku sambil menyerahkan selembar kertas undangan wawancara dan foto. “Pak..kira-kira
passport saya bisa jadi kapan ya pak?.”tanyaku. “Paling cepet selasa mas.” Dengan
tegas beliau berkata. Kata itu sungguh menusuk hatiku. Aku harus berangkat
maksimal senin sore dan passportku baru jadi selasa. “Pak..saya jikalau ingin
meminta percepatan, bagaimana ya pak?.” Aku memohon. “Wah..tidak bisa mas..mas
lihat sendiri kan antriannya seperti apa. Itu saja sudah cepet lho mas.” Kata beliau.
Disaat itulah…kembali aku menunjukkan muka melas memohon agar passportku bisa
jadi lebih cepat. Subhanallah…kembali keajaiban diturunkan. Setalah berulang
kali menolak, akhirnya bapak itu mau mengerti. “Ya sudah mas…karena niat kamu
baik, insyaAllah kami akan usahakan. Besok mas kesini lagi untuk wawancara dan
foto. Senin..semoga passport mas bisa jadi.” Sungguh…kata lembut itu menerobos
liang telingaku dan turun menenangkan hatiku. Bersukurlah aku.
Sehari
setelah itu kembali aku mendatangi kantor imigrasi. Belajar dari pengalaman,
pagi itu aku sengaja datang lebih pagi. Aku terpaksa membolos lagi. Ya…inilah
pengorbanan. Sudah kesekian kalinya aku terpaksa membolos. Padahal sebelumnya
sungguh aku sangat jarang membolos. Suasana di kantor imigrasi pagi itu masih
sangat sepi. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya loket di buka juga.
Alhamdulilah..kali ini aku mendapatkan nomor antrian awal. Setelah mengambil
nomor antrian, aku masih harus menunggu cukup lama untuk wawancara dan foto.
Hampir 1 jam akhirnya namaku dipanggil, yah..ternyata itu panggilan untuk
membayar biaya pembuatan passport. Dalam hati aku bertanya, apakah aku akan
dikenakan biaya tinggi karena aku memohon percepatan. “255 ribu mas.” Alhamdulilah
batinku…ternyata nominal yang harus ku keluarkan sama dengan yang lain. Aku
sedikit lega.
Setelah
kembali cukup lama menunggu, namaku pun kembali di panggil. Ya…kali ini untuk
wawancara dan foto. Tak seperti yang ku bayangkan, proses ini ternyata cukup
cepat dan sedikitpun tidak ribet, Mudah sekali. Bapak petugas hanya menanyaiku
beberapa pertanyaan dan akhirnya memberiku selembar kertas. “Itu tanda bukti
untuk ngambil passport mas. Sudah ada no.passportnya. Jadi langsung bisa
booking pesawat. Senin passport jadi. Sukses ya mas” Dengan senyum beliau
berkata. Alhamdulillah ya Rab…Kembali Engkau turunkan malaikat penolongmu.
Syukur kembali aku haturkan kepadaMu. Setelah itu aku foto dan dipersilahkan
pulang.
Tenang
rasanya masalah passport sudah beres. Sore itu juga aku ditemani dengan
kekasihku pergi ke stasiun Lempuyangan. Ya…aku harus memesan tiket perjalananku
ke Jakarta. Semua pesawat yang menuju Thailand depart-nya dari Soekarno-Hatta,
jadi aku harus ke Jakarta dulu. Kereta kelas Ekonomi “PROGO” yang juga sudah
sangat sering menemaniku dan teman-temanku ke Jakarta adalah pilihanku.
Maklumlah…uangku mepet. Aku harus pintar mengatur keuangan kalau mau sampai. Setelah
antri cukup panjang, akhirnya tiket terbeli. Huft…Masalah kereta selesai.
Hatiku tambah tenang.
Selanjutnya
adalah pesawat. Step yang sempat membuatku bergalauan. Percaya atau tidak,
booking pesawat tidak semudah yang ku kira. Aku cukup pusing dibuatnya. Aku
harus kesana-kemari mencari informasi harga tiket termurah menuju Hat Yai. Setelah
searching-searching, akhirnya ketemu yang pass juga. Tiger Airways adalah
maskapai yang menawarkan harga tiket termurah. Itupun sebenarnya masih terlalu
mahal bagiku yang belum juga memegang uang. Uang dari KI dan jurusan belum bisa
diambil. Yah…kembali aku menemui Bu Tiwi. “Beliau sudah sering overseas, pasti
lebih tahu mengenai perbookingan pesawat.” Batinku.
Sudah
hari kamis dan aku belum juga berhasil booking pesawat. Masalahnya adalah untuk
booking tiger airways harus dibayar lewat mastercard dan aku tidak punya itu.
Bu Tiwi punya, tapi setelah dicoba ternyata tidak bisa. Yah…kembali aku harus
meminta bantuan kesana kemari. Beberapa dosen ku hubungi dan belum juga aku
temui yang punya mstercard aktif. Walau cukup melelahkan dan dibuat pusing, tapi
hari itu ada kabar gembira dari Jurusan. Bu Anna, sekretaris Jurusan memberiku
info bahwa uang bantuan sudah disiapkan ditambah uang pinjaman karena uang
bantuan dari KI baru bisa turun setelah aku melaporkan LPJ. Subhanallah…kembali
jalan terang terpancar. Uang datang disaat yang tepat. Hehe…
Hari
selanjutnyapun kabar indah muncul. Bu Tiwi kembali datang sebagai pahlawanku.
Beliau meminjam mastercard milik Ayahandanya untuk booking pesawat. Searching,
booking, Processing dan akhirnya yup….berhasil!. Yeah…Aku telah booking
pesawat. Hatiku tersenyum melihat tiket konfirmasi pemesanan telah terkirim ke
emailku. “Akhirnya ya Rab…terimakasih banyak….mimpiku..aku datang.” Batinku.
Senin,
3 Desember 2012. Pagi itu aku datangi kantor Imigrasi. Wa…ternyata untuk
ngambil passport tidak perlu antri panjang lagi. Aku tinggal menunjukkan kertas
tanda bukti dan sip..selesai. Subhanallah…ini untuk pertama kalinya seumur
hidup aku megang dan punya passport. Aku bolak-balik mengecek passportku. Sip…semua
beres dan tidak ada kesalahan. Aku tinggalkan kantor imigrasi itu dengan
senyuman. Sungguh…orang-orang didalamnya itu benar-benar berjasa membantuku.
Aku bersyukur, ternyata tidak semuanya bermata duitan. Buktinya mereka ikhlas
membantuku tanpa meminta imbalan sedikitpun.
Aku
kembali ke kampus dan menuju jurusan. Setelah menyelesaikan surat ijin dan
semuanya, aku memohon pamit dan doa kepada beliau-beliau yang telah membantuku
selama ini. Hari terakhir itupun kembali diturunkanNya keberuntungan. Beberapa
dosen memberiku uang saku dan itu sungguh menolongku. Dengan tambahan uang itu,
aku semakin optimis bisa hidup selama disana nanti. Bu Tiwi, Bu Evi, Bu Anna dan
terakhir Bu Budi. Ya..Rab..Mereka memang sosok-sosok yang luar biasa. Sungguh
aku beruntung bertemu dengan mereka.
Satu,
dua, tiga, empat, semua telah siap dan waktunya berpetualang. Sore itu…menjadi
awal kisah petualanganku. Perjuangan yang sungguh luar biasa itu akhirnya
mengantarkanku semakin mendekati mimpi besarku. Sore itu aku berdiri di stasiun
Lempuyangan dengan atribut ala backpacker. Seperti biasanya, tetap dia yang ada
disampingku dan menemaniku hingga titik itu kami harus berpisah untuk sementara
waktu. Aku tatap langit sore itu dengan mengucap doa dan syukur. Huft…finally… I’ll
go…Ya… I’m ready…must be ready.. “Ya Rab….saksikanlah…Engkau memang Maha Tau
segala isi hati. Dan Engkau memberi apa yang ku butuhkan, bukan apa yang ku
inginkan. Engkau bayar perjuangan dengan keindahan. Apapun yang telah dan akan
terjadi nanti, semua karena Engkau dan hamba pasrah. Ijinkan hamba menggapai
mimpi besar itu dan berilah hamba keselamatan hingga kembali menginjak tanah
ini. Bapak-Ibu, isma mohon pamit. Dream, I’ll come.” Keberangkatan Progo membangunkanku
dari lamunanku. Aku Berangkat….
Yah…itu
lah rentetan cerita yang ku alami hingga akhirnya berakhir manis. Sungguh
pengalaman yang mengajarkanku akan arti kesabaran dan pantang menyerah. Akhirnya aku bisa juga menghadiri konferensi itu. Ini adalah pengalaman pertamaku di ajang internasional. Sebuah
penghargaan dariNya yang begitu indah dan akan ku kenang seumur Hidup. Demikian
sidang pembaca kisah ini aku tulis. Bukan untuk menyombongkan diri akan tetapi
hanya ingin mencoba berbagi. Semoga dapat menghibur atau atau terlebih bisa
memberikan manfaat. Terimakasih atas perhatian dan kerelaan untuk membaca.
Tunggu cerita kisah petualanganKu di negeri Orang....hehe...salam :)