Chasing My Big Dream

Sabtu, 19 Januari 2013


Nekad enggak..nekad enggak..berangkat enggak..berangkat enggak..berani enggak..berani enggak…Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tiada henti menghiasi waktu-waktuku pada hari-hari itu. Setelah hari datangnya kabar menggembirakan pada tanggal 15 November 2012 itu sontak hari-hariku berubah drastis penuh dilemma dan kegalauan.

Pagi itu aku buka email dengan rasa penuh harap. Setalah hampir sebulan penuh menanti akhirnya tiba pula hari dimana notification of acceptance diumumkan. Adalah pesan email dari committee of AASIC (ASEAN Academic Society International Conference) yang ku tunggu. Ya..sebulan lalu aku dengan rasa iseng mengirimkan paperku ke panitia konferensi itu untuk turut serta dalam proses seleksi.

Di pagi yang sendu itu mataku terbelalak membaca pesan email yang kuterima. Ya..Paperku diterima untuk dipresentasikan di konferensi Internasional itu. Sungguh keberuntungan yang sepertinya aku terima melihat paper yang kubuat itu adalah paper pertamaku dan itu adalah rekaman hasil penelitian pertamaku pula. Cukup kaget aku membaca invitation letter yang dikirim panitia konferensi. Kalimat-kaliamat yang begitu membuatku penuh harap. “And we invite you to come to Thailand in order to presenting your paper in the conference. We glad to see you in Hat Yai.” Rasa bahagia bercampur bangga berhamburan didalam hati ini pagi itu. Akhirnya satu mimpi besarku dari kecil akan terwujud, batinku berteriak.

Namun kebahagiaan itu sempat hilang begitu saja bak ditelan bumi ketika aku mendengar kabar bahwa di akhir tahun sudah sangat sulit mencari bantuan dana dari kampus, apalagi untuk kegiatan Internasional yang pasti menghabiskan banyak dana. Dan ternyata memanglah benar, kesana kemari aku mencari informasi bantuan dana akan tetapi tak satupun yang memberi kabar indah. Sempat rasa kekecewaan dan putus asa hinggap dan begitu menyayat hati.

Namun Dia sepertinya mendengar doa-doaku. Disaat sepertinya sudah tidak mungkin lagi aku berangkat, datanglah beliau Ibu Tiwi salah salah satu Dosenku bak malaikat pembawa kabar gembira. Beliau memberiku bimbingan dan begitu banyak nasihat. Beliau berjanji akan membantuku sampai titik darah terakhir agar aku bisa berangkat. Beliau memberiku support untuk tidak menyerah dan terus berusaha. Mendengar pernyataan itu, harapan yang sempat sirna seperti bercahaya kembali. Muncul rasa semangat baru menggetarkan tubuhku untuk kembali berjuang.

Seminggu telah berlalu dan hari terakhir pembayaran biaya konferensi semakin mendekat. Belum juga aku mampu mengumpulkan dana untuk membayar konferensi. Adalah 1 juta nominal yang harus aku kumpulkan setidaknya dalam 2 hari tersisa untuk dapat membayar. Yah...doa dan usaha terus aku lakukan dan selalu berharap ada keajaiban.

Malam itu, 2 hari sebelum deadline pembayaran. HPku bergetar. Saat itu aku benar nampak lemas dan pasrah dengan apa yang ada. Aku sudah berusaha dan belum juga ada yang membantu. Satu pesan datang dari bu Tiwi Dosenku. Langsung aku baca sms dari bu Tiwi itu dengan rasa penuh harap, “nak..kamu selesaikan proposalmu ya..besok kita ke KI..Mungkin mereka masih mau membantu.” Bergegas aku selesaikan proposalku malam itu.

Pagi itu aku, temanku yang juga bernasib sama denganku ditemani Bu Tiwi mendatangi Kantor Internasional UNY. Ya…itulah untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di KI. Gugup aku setalah memasuki ruang itu. Bu Tiwi membawa kami menghadap kepala KI. Dag..dig…dug…aku mendengar perbincangan Bu Tiwi dengan Kepala KI. Setalah bertanya-tanya dan melihat-lihat proposal akhirnya Bapak itu bersedia membantu. Akan tetapi mereka hanya bersedia membantu sebagian. Rasa syukur aku panjatkan mendengar kabar indah itu. Proposalku di ACC dan itu pertanda mereka sah akan membantu.

Setalah itu aku mulai berfikir dan menimbang-nimbang. Dengan semangat aku mulai searching-searching harga tiket pesawat ke Hat Yai. Mulai ke bandara, searching internet, ke tempat-tempat penjualan tiket aku datangi. Namun inilah hidup…ujian datang memang tidak menunggu undangan. Harga tiket ke Hat Yai ternyata cukup mahal. Dengan seluruh uang bantuan dari KI saja tiket tak akan terbeli. Padahal aku belum membayar biaya konferensinya dan belum memikirkan biaya hidupku selama di sana nanti. Kembali rasa kecewa menghantam hati membawa rasa patah semangat.

Pagi itu, hari deadline pembayaran konferensi aku menemui bu Tiwi. Dan aku bercerita semuanya ke Beliau. Namun Beliau tidak patah arang, beliau tetap akan berusaha supaya aku bisa berangkat. Beliau memberikabar jikalau ada celah dari Jurusan untuk aku dapat bantuan dana. Dan Beliau akan membantu untuk itu. Beliau memintaku melobi Dosen agar aku bisa menggunakan anggaran dana seminar Dosen. Syaratnya aku harus mendekati dan meyakinkan dosen hingga mereka mau membantu. Itu bukanlah hal mudah. Tapi melihat pancaran mata Bu Tiwi aku pun meyakinkan hatiku untuk kembali berusaha.

Setelah mendengar nasehat tadi, aku berfikir kembali. Rasa keinginan jelas masih melekat dalam hatiku. Setelah sampai di kamar kost, aku pun membuka laptopku. Email kembali ku buka. Aku berniat memohon toleransi waktu untuk deadline pembayaran. Tanpa malu aku menjelaskan semuanya ke pihak panitia. Setalah melalui diskusi yang cukup panjang melalui pesan email, akhirnya mereka mau mengerti dan memberiku tambahan waktu 1 minggu untuk dapat membayar biaya itu. Yah..kembali muncul sedikit harapan besar. Dengan waktu itu aku mungkin bisa mencari kepastian dari pihak Jurusan, apakah mereka bisa membantu atau tidak.

Aku terus berusaha meyakinkan dan mencari kepastian dari pihak Jurusan. Namun hari itu kembali aku harus mendengar kabar buruk. Dosen yang semula bersedia membantu justru mengundurkan diri dan itu pertanda bahwa aku akan gagal mendapatkan bantuan dana. Yah...Melihat waktu toleransiku sudah hampir habis, aku kembali berfikir dan mempertimbangkan segala hal. Ya..Setalah aku berfikir, saat itu aku putuskan untuk mengundurkan diri dan tidak jadi berangkat. Walau rasa kecewa dan sakit jelas membelenggu namun aku putuskan. Pertimbanganku sangatlah banyak, dana kurang banyak, aku belum beli tiket pesawat, aku pun belum membuat passport yang kabarnya akan memakan waktu lebih dari 1 minggu padahal seandainya jadi berangkat aku harus punya no.pasport untuk dapat memesan pesawat. Aku pun harus berangkat 10 hari setelah hari itu. Semua alasan itu yang akhirnya membuatku mengambil keputusan yang amat sakit. Aku pun mendatangi bu Tiwi dengan pasrah dan menceritakan semuanya. 

Walau telah memutuskan. Malam itu aku kembali memohon petunjuk. Esok adalah hari terakhir dimana aku harus membayar biaya konferensi. Allah memang akan memberi apa yang kita butuhkan. Pagi itu ada panggilan dari Jurusan. Dengan gugup aku langkahkan kakiku menuju ruang itu. Alhamdulilah….. Entah anugrah apa yang diberikanNya, akhirnya dari pihak Jurusan pun bersedia memberiku bantuan. Kembali harapan itu melambung tinggi. Setelah mendengar itu akupun menemui kembali Bu Tiwi dan mencerikan semuanya.

 Ya…sekarang tinggal gimana aku selanjutnya. Apakah mau nekad atau tidak. Uang yang terkumpul hanya cukup untuk biaya registrasi dan pesawat. Itupun sebenarnya masih kurang banyak. Belum aku harus berfikir biaya untuk beli tiket kereta ke Jakarta, biaya buat passport dan yang terpenting biaya hidupku selama disana. Aku coba hubungi orangtuaku dan menceritakan semuanya. Alhamdulilah…senyum selanjutnya datang..dari sms yang kuterima, sepertinya mereka bersedia memberiku uang jajan yang aku pikir itu cukuplah untuk makan selama aku disana.

Setalah itulah aku membuat suatu perjudian besar. Dengan rasa yakin aku membayarkan uang sebesar 1 juta untuk biaya registrasi. Aku berjudi atas ini. Walau aku belum membuat pasport belum juga booking pesawat dan belum membeli tiket kereta, dan belum tentu juga aku bisa berangkat, tapi aku beranikan diri membayarkannya. Pembayaran itupun tidak semudah yang ku kira. Aku harus mentransfer ke Thailand dan biaya transfer ternyata amat mahal. Sungguh uangku saat itu tidak cukup untuk membayar biaya transfer itu. Rasa sesal kembali hinggap dan hari itu aku benar-benar pasrah. Hari itu adalah deadline toleransi waktu yang diberikan panitia untukku membayar biaya konferensi. Tapi aku gagal membayarkannya saat itu.

Pulanglah aku dengan tubuh lemas dan hati penuh kecewa. Setelah beristirahat sejenak. Kembali aku membuka laptop. Ku buka emailku dan aku kirim permohonan maafku kepada pihak panitia karena disaat hari terakhir itupun aku tetap tidak bisa membayarnya. Kembali tanpa malu aku jelaskan kepada mereka mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Dan sepertinya mereka memaklumi itu. Lama malam itu aku berdiskusi dengan mereka via email hingga cukup larut. Hingga ternyata pesan terakhir dari mereka menjelaskan bahwa aku kembali diberi toleransi waktu 1 hari, ditambah aku bisa membayarnya ke no.rekening salah satu panitia di Indonesia. Itu artinya aku tidak perlu lagi membayar biaya transfer ke Thailand yang mahal itu. Subhanallah…keajaiban itu kembali datang.  Membaca itu mataku terbelalak dan mengucap syukur. Harapan kembali bercahaya membelah awan redup yang sejak sore tadi membelengguku.

Hari itu akhirnya aku benar-benar melakukan perjudianku itu. Dengan yakin aku transfer uangku. Setelah mengalami kesulitan dalam mentransfer, akhirnya aku berhasil membayar biaya konferensi berkat bantuan dua temanku Amel dan Ervi. Mereka membantuku malam itu mentransfer biaya melalui ATMnya. Perjudian telah selesai dan selanjutnya tinggal memikirkan passport, pesawat, dan kereta.  Jikalau aku gagal menyelesaikan semuanya, aku bakal kehilangan uang sebesar 1 jt dengan sia-sia.

Perjuangan kembali ku kobarkan setalah perjudianku itu. Pembuatan passport adalah hal yang cukup membuat jantungku dag-dig dug. Yang benar saja, pasportku harus jadi dalam waktu seminggu jikalau aku ingin berangkat. Sempat rasanya ingin menangis ketika ku datangi kantor imigrasi. Ya Rab…apakah mungkin bisa jikalau seperti ini. Saat itu kantor imigrasi penuh sesak dan loket pendaftaran pembuatan passport antri cukup panjang. Dan aku mendapatkan no antrian belakang. Hari itu aku terpaksa membolos kuliah untuk membuat passport. Walau dengan rasa sedikit pesimis, aku berdoa dengan penuh harap disaat ku dalam antrian itu. “Ya Rabb…Jikalau Kau ijinkan, berilah hambamu kembali keajaiban.” Doaku dalam hati.

Satu persatu antrian didepanku berkurang dan setalah menunggu cukup lama tibalah giliranku. Ya…akhirnya nomor antrianku dipanggil. Aku langkahkan kaki dengan perasaan gugup. Di loket itu, bapak-bapak menyodrokan tangan meminta persyaratan yang dibutuhkan untuk pembuatan passport. Aku pun segera menyerahkannya. “Hari Rabu kesini lagi ya mas untuk wawancara dan foto.” Beliau berkata padaku sambil menyerahkan selembar kertas undangan wawancara dan foto. “Pak..kira-kira passport saya bisa jadi kapan ya pak?.”tanyaku. “Paling cepet selasa mas.” Dengan tegas beliau berkata. Kata itu sungguh menusuk hatiku. Aku harus berangkat maksimal senin sore dan passportku baru jadi selasa. “Pak..saya jikalau ingin meminta percepatan, bagaimana ya pak?.” Aku memohon. “Wah..tidak bisa mas..mas lihat sendiri kan antriannya seperti apa. Itu saja sudah cepet lho mas.” Kata beliau. Disaat itulah…kembali aku menunjukkan muka melas memohon agar passportku bisa jadi lebih cepat. Subhanallah…kembali keajaiban diturunkan. Setalah berulang kali menolak, akhirnya bapak itu mau mengerti. “Ya sudah mas…karena niat kamu baik, insyaAllah kami akan usahakan. Besok mas kesini lagi untuk wawancara dan foto. Senin..semoga passport mas bisa jadi.” Sungguh…kata lembut itu menerobos liang telingaku dan turun menenangkan hatiku. Bersukurlah aku.

Sehari setelah itu kembali aku mendatangi kantor imigrasi. Belajar dari pengalaman, pagi itu aku sengaja datang lebih pagi. Aku terpaksa membolos lagi. Ya…inilah pengorbanan. Sudah kesekian kalinya aku terpaksa membolos. Padahal sebelumnya sungguh aku sangat jarang membolos. Suasana di kantor imigrasi pagi itu masih sangat sepi. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya loket di buka juga. Alhamdulilah..kali ini aku mendapatkan nomor antrian awal. Setelah mengambil nomor antrian, aku masih harus menunggu cukup lama untuk wawancara dan foto. Hampir 1 jam akhirnya namaku dipanggil, yah..ternyata itu panggilan untuk membayar biaya pembuatan passport. Dalam hati aku bertanya, apakah aku akan dikenakan biaya tinggi karena aku memohon percepatan. “255 ribu mas.” Alhamdulilah batinku…ternyata nominal yang harus ku keluarkan sama dengan yang lain. Aku sedikit lega.

Setelah kembali cukup lama menunggu, namaku pun kembali di panggil. Ya…kali ini untuk wawancara dan foto. Tak seperti yang ku bayangkan, proses ini ternyata cukup cepat dan sedikitpun tidak ribet, Mudah sekali. Bapak petugas hanya menanyaiku beberapa pertanyaan dan akhirnya memberiku selembar kertas. “Itu tanda bukti untuk ngambil passport mas. Sudah ada no.passportnya. Jadi langsung bisa booking pesawat. Senin passport jadi. Sukses ya mas” Dengan senyum beliau berkata. Alhamdulillah ya Rab…Kembali Engkau turunkan malaikat penolongmu. Syukur kembali aku haturkan kepadaMu. Setelah itu aku foto dan dipersilahkan pulang.

Tenang rasanya masalah passport sudah beres. Sore itu juga aku ditemani dengan kekasihku pergi ke stasiun Lempuyangan. Ya…aku harus memesan tiket perjalananku ke Jakarta. Semua pesawat yang menuju Thailand depart-nya dari Soekarno-Hatta, jadi aku harus ke Jakarta dulu. Kereta kelas Ekonomi “PROGO” yang juga sudah sangat sering menemaniku dan teman-temanku ke Jakarta adalah pilihanku. Maklumlah…uangku mepet. Aku harus pintar mengatur keuangan kalau mau sampai. Setelah antri cukup panjang, akhirnya tiket terbeli. Huft…Masalah kereta selesai. Hatiku tambah tenang.   

Selanjutnya adalah pesawat. Step yang sempat membuatku bergalauan. Percaya atau tidak, booking pesawat tidak semudah yang ku kira. Aku cukup pusing dibuatnya. Aku harus kesana-kemari mencari informasi harga tiket termurah menuju Hat Yai. Setelah searching-searching, akhirnya ketemu yang pass juga. Tiger Airways adalah maskapai yang menawarkan harga tiket termurah. Itupun sebenarnya masih terlalu mahal bagiku yang belum juga memegang uang. Uang dari KI dan jurusan belum bisa diambil. Yah…kembali aku menemui Bu Tiwi. “Beliau sudah sering overseas, pasti lebih tahu mengenai perbookingan pesawat.” Batinku.           

Sudah hari kamis dan aku belum juga berhasil booking pesawat. Masalahnya adalah untuk booking tiger airways harus dibayar lewat mastercard dan aku tidak punya itu. Bu Tiwi punya, tapi setelah dicoba ternyata tidak bisa. Yah…kembali aku harus meminta bantuan kesana kemari. Beberapa dosen ku hubungi dan belum juga aku temui yang punya mstercard aktif. Walau cukup melelahkan dan dibuat pusing, tapi hari itu ada kabar gembira dari Jurusan. Bu Anna, sekretaris Jurusan memberiku info bahwa uang bantuan sudah disiapkan ditambah uang pinjaman karena uang bantuan dari KI baru bisa turun setelah aku melaporkan LPJ. Subhanallah…kembali jalan terang terpancar. Uang datang disaat yang tepat. Hehe…

Hari selanjutnyapun kabar indah muncul. Bu Tiwi kembali datang sebagai pahlawanku. Beliau meminjam mastercard milik Ayahandanya untuk booking pesawat. Searching, booking, Processing dan akhirnya yup….berhasil!. Yeah…Aku telah booking pesawat. Hatiku tersenyum melihat tiket konfirmasi pemesanan telah terkirim ke emailku. “Akhirnya ya Rab…terimakasih banyak….mimpiku..aku datang.” Batinku.

Senin, 3 Desember 2012. Pagi itu aku datangi kantor Imigrasi. Wa…ternyata untuk ngambil passport tidak perlu antri panjang lagi. Aku tinggal menunjukkan kertas tanda bukti dan sip..selesai. Subhanallah…ini untuk pertama kalinya seumur hidup aku megang dan punya passport. Aku bolak-balik mengecek passportku. Sip…semua beres dan tidak ada kesalahan. Aku tinggalkan kantor imigrasi itu dengan senyuman. Sungguh…orang-orang didalamnya itu benar-benar berjasa membantuku. Aku bersyukur, ternyata tidak semuanya bermata duitan. Buktinya mereka ikhlas membantuku tanpa meminta imbalan sedikitpun.

Aku kembali ke kampus dan menuju jurusan. Setelah menyelesaikan surat ijin dan semuanya, aku memohon pamit dan doa kepada beliau-beliau yang telah membantuku selama ini. Hari terakhir itupun kembali diturunkanNya keberuntungan. Beberapa dosen memberiku uang saku dan itu sungguh menolongku. Dengan tambahan uang itu, aku semakin optimis bisa hidup selama disana nanti. Bu Tiwi, Bu Evi, Bu Anna dan terakhir Bu Budi. Ya..Rab..Mereka memang sosok-sosok yang luar biasa. Sungguh aku beruntung bertemu dengan mereka.

Satu, dua, tiga, empat, semua telah siap dan waktunya berpetualang. Sore itu…menjadi awal kisah petualanganku. Perjuangan yang sungguh luar biasa itu akhirnya mengantarkanku semakin mendekati mimpi besarku. Sore itu aku berdiri di stasiun Lempuyangan dengan atribut ala backpacker. Seperti biasanya, tetap dia yang ada disampingku dan menemaniku hingga titik itu kami harus berpisah untuk sementara waktu. Aku tatap langit sore itu dengan mengucap doa dan syukur. Huft…finally… I’ll go…Ya… I’m ready…must be ready.. “Ya Rab….saksikanlah…Engkau memang Maha Tau segala isi hati. Dan Engkau memberi apa yang ku butuhkan, bukan apa yang ku inginkan. Engkau bayar perjuangan dengan keindahan. Apapun yang telah dan akan terjadi nanti, semua karena Engkau dan hamba pasrah. Ijinkan hamba menggapai mimpi besar itu dan berilah hamba keselamatan hingga kembali menginjak tanah ini. Bapak-Ibu, isma mohon pamit. Dream, I’ll come.” Keberangkatan Progo membangunkanku dari lamunanku. Aku Berangkat….

Yah…itu lah rentetan cerita yang ku alami hingga akhirnya berakhir manis. Sungguh pengalaman yang mengajarkanku akan arti kesabaran dan pantang menyerah. Akhirnya aku bisa juga menghadiri konferensi itu. Ini adalah pengalaman pertamaku di ajang internasional.  Sebuah penghargaan dariNya yang begitu indah dan akan ku kenang seumur Hidup. Demikian sidang pembaca kisah ini aku tulis. Bukan untuk menyombongkan diri akan tetapi hanya ingin mencoba berbagi. Semoga dapat menghibur atau atau terlebih bisa memberikan manfaat. Terimakasih atas perhatian dan kerelaan untuk membaca. Tunggu cerita kisah petualanganKu di negeri Orang....hehe...salam :)
 

   


1 komentar:

Unknown mengatakan...

terharu, salut, hebat, tetap semangath ;)

Posting Komentar

Flowers

Flowers
The beauty Arachnis

Serangga galau

Serangga galau
The Romantic Insect

Amblyphigi

Amblyphigi
Salah satu biota penghuni ekosistem Gua
 

Browse